REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Pusat Kajian Keuangan Negara Prasetyo mengatakan, pemerintah cukup berani merencanakan pemangkasan terhadap alokasi belanja kementerian/lembaga. Belanja kementerian/lembaga dalam RAPBN 2017 direncanakan sebesar Rp 758,4 triliun lebih rendah dibandingkan pagu APBN-P 2016 yang sebesar Rp 767,8 triliun atau turun sebesar 1,24 persen.
Data sementara kementerian/lembaga yang mengalami pemangkasan belanja terbesar di antaranya Kementerian Perhubungan, dari Rp 105,6 triliun menjadi Rp 97,1 triliun, Kepolisian RI dari Rp 79,3 triliun menjadi Rp 72,4 triliun, Kementerian Pendidikan dari Rp 43,6 triliun menjadi Rp 38,9 triliun, dan Kementerian Kesehatan dari Rp 58.3 triliun menjadi Rp 62,7 triliun.
Sementara itu, dia mengatakan alokasi belanja yang sebenarnya tidak perlu dikurangi adalah belanja nonsubsidi, yang justru turun dari Rp 83,4 triliun (APBN-P 2015) menjadi Rp 82,7 triliun.
Belanja nonsubsidi ini misalnya subsidi pangan, subsidi pupuk, subsidi benih, dan Public Service Obligation (PSO). "Nawacita sebenarnya dapat diakselerasi melalui Dana Desa dan subsidi nonenergi ini. Sebaiknya jangan dipotong," kata dia dalam keterangan tertulisnya, Rabu (17/8).
Selanjutnya, ia katakan, belanja transfer ke daerah yang baru-baru ini menuai protes dari daerah, juga direncanakan mengalami pemangkasan sampai 4,18 persen. Komponen yang mengalami pemangkasan adalah dana bagi hasil (DBH) turun sebesar 4,97 persen dan Dana Alokasi Khusus (DAK) turun sebesar 19,57 persen. Kemudian komponen yang mengalami kenaikan yaitu Dana Alokasi Umum (DAU) naik sebesar 4,79 persen, Dana Otonomi Khusus naik sebesar 8,19 persen, dana transfer lainnya (DID) naik sebesar 33,3 persen, serta dana desa naik sebesar 21,70 persen.
"Rencana pemangkasan dana transfer ke daerah di satu sisi dapat mendorong pemerintah daerah untuk lebih mandiri. Namun kebijakan ini perlu dievaluasi dan didiskusikan lebih mendalam, karena juga menyangkut proyek-proyek pemerintah di daerah," ujarnya.
Dalam skema efisiensi anggaran, Pusat Kajian Keuangan Negara menyarankan pemerintah dapat menyiapkan peta jalan (road map) yang lebih jelas.
"Karena itu, efisiensi anggaran perlu didasarkan atas kebutuhan, seperti dikatakan Presiden Jokowi money follow program. Jadi, pemerintah perlu memilah dan memilih belanja mana yang tidak prioritas, belanja yang tidak perlu, dan belanja yang track off," ungkapnya.
Untuk jangka panjang, dapat mengevaluasi kembali belanja pegawai yang jumlahnya rata-rata mengalami kenaikan sebesar 14 persen setiap tahun dengan persentase kurang lebih 26 persen dari total belanja pemerintah pusat.
Cara yang dapat ditempuh pemerintah dapat menunjuk Kementerian Pendayagunaan Aparatur dan Reformasi Birokrasi untuk membuat database pegawai, sehingga dapat menjadi acuan belanja pegawai dari sisi tunjangan. Sebab, tunjangan yang diberikan sering tidak searah dengan kinerja yang diharapkan.
Dalam jangka pendek, pemerintah dapat mengevaluasi tata kelola belanja bantuan sosial, yang disalurkan melalui kementerian/lembaga. Belanja bansos di kementerian/lembaga selama ini dinilai tidak efisien, bahkan cenderung rawan disalahgunakan.
Realisasi belanja bansos 2014 sebesar Rp 97,9 triliun yang tersebar di 17 K/L, 2015 sebesar Rp 97,1 triliun yang tersebar di 11 K/L dan untuk 2016 sebesar Rp 53,4 triliun. Pilihannya hanya ada dua, dihapus atau dikelola oleh satu kementerian saja.
Menurutnya, berdasarkan Laporan BPK-RI dalam LKPP 2015 disebutkan tata kelola dana bansos selama ini meragukan dan tidak akuntabel. "BPK menemukan terdapat kesalahan klasifikasi, dana bansos masih mengendap di rekening penampungan K/L dan rekening pihak ketiga, penyaluran dan pertanggungjawaban realisasi belanja bansos tidak sesuai ketentuan, serta masih banyaknya dana bansos yang tidak sesuai dengan penggunaannya," katanya.