Rabu 17 Aug 2016 16:38 WIB

Pemerintah Siasati Tingginya Belanja di RAPBN 2017 dengan Utang

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Nur Aini
Kantor Kementerian Perekonomian yang berada satu areal dengan Kementerian keuangan
Kantor Kementerian Perekonomian yang berada satu areal dengan Kementerian keuangan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --Pemerintah akan memrioritaskan pembiayaan jangka pendek serta penarikan utang lebih cepat untuk memenuhi kebutuhan belanja dalam APBN 2017.  Hal ini karena butuhan belanja yang cukup tinggi di awal tahun belum bisa tertutupi oleh penerimaan negara. Terlebih, penerimaan negara dari pajak baru mulai terkumpul pada Maret setiap tahunnya.

Pemerintah menargetkan angka defisit anggaran dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2017 sebesar Rp 322,8 triliun atau 2,41 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Angka ini lebih tinggi dibanding defisit anggaran pada 2016 sebesar Rp 296,7 triliun. Sedangkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) tahun depan dipasang pada angka Rp 240,4 triliun dan belanja negara dialokasikan sebesar Rp 2.070,5 triliun. Besarnya belanja pada tahun depan dibarengi dengan masih rendahnya harga komoditas termasuk harga minyak dunia dan komoditas mineral tambang.

Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Robert Pakpahan menjelaskan, penerbitan surat utang juga akan dilakukan. Hanya saja prioritas pemerintah tetap untuk pendanaan surat utang yang jatuh tempo.

"Cara kami mengelola pembiayaan untuk kebutuhan defisit pada dasarnya kita lihat berapa jumlah pembiayaan yang dibutuhkan dalam APBP. Misal kemudian jatuh tempo ada Rp 200 triliun sampai Rp 250 triliun, ya kita jumlahkan jumlah yang jatuh tempo sehingga penerbitan gross ditambahkan," kata Robert ditemui di Kementerian Koordinator Perekonomian, Jakarta, Rabu (17/8).

Hanya saja, Robert menambahkan, pemerintah belum menyisir secara detil utang yang jatuh tempo pada tahun depan. Ia menegaskan, pemerintah tetap menjaga besaran utang negara yang terdiri dari rupiah dan dolar AS bertambah sebesar netto yang diperkenankan oleh Undang-Undang.

"Jadi tidak usah khawatir, di ujung tahun kalau di situ ada pembiayaan utang nettonya Rp 300 triliun, misal tahun kemarin Rp 296 triliun, ya Rp 96 triliunlah yang ditambal," kata dia.

Sementara terkait kondisi keuangan negara yang dianggap masih kurang sehat, Robert meyakini utang negara masih terkendali. Pernyataan Robert ini menjawab kondisi di mana keseimbangan primer yang masih defisit. Artinya, negara terpaksa menambah utang demi membayar bunga utang sebelumnya. Diketahui bahwa defisit keseimbangan primer yang dihitung dari total penerimaan dikurangi belanja negara, tanpa adanya pembayaran bunga utang, mencapai Rp 111,4 triliun. Angka ini lebih besar dari RAPBN 2016 sebesar Rp 105,5 triliun.

"Kita lihat defisit masih dua sekian (persen). Idealnya sih memang keseimbangan primer positif sehingga yang defisit itu adalah untuk murni nonpembayaran bunga. Tapi kondisi penerimaan negara belum maksimal karena harga komoditas turun," kata Robert.

Sedangkan opsi penarikan utang lebih awal yang mungkin saja akan dilakukan, Robert mengaku hal ini masih membutuhkan pembahasan lebih lanjut dengan parlemen. Ia menyebutkan, pengambilan keputusan melihat beberapa hal, termasuk sisi kebutuhan anggaran belanja di awal tahun depan. Pertimbangan ini akan menentukan besaran surat berharga yang akan diterbitkan oleh pemerintah.

"Awal tahun Januari itu kan duluan lah, ada bayar gaji bayar DAU (Dana Alokasi Umum) ke daerah jadi besar juga. Kita lihat kebutuhan 2017," ujarnya.

Pemerintah, kata dia, juga terus memantau perkembangan realisasi dari amnesti pajak. Realisasi dana amnesti pajak ia sebut akan sangat membantu pemenuhan belanja negara di awal tahun. Sedangkan surat utang yang diterbitkan bisa dalam bentuk Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau Global Bond.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement