REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada Agustus 2016, banyak narapidana (napi) terkait terorisme bebas karena mendapatkan remisi atau masa pidananya habis. Namun, stigma negatif terhadap para napi tersebut dinilai bisa membuat mereka lebih radikal.
Mereka yang bebas tersebar dari beberapa lembaga pemasyarakatan (lapas), paling tidak lima orang dari Lapas Cipinang, empat orang dari Nusakambangan dan beberapa orang dari lapas lainnya. Untuk itu, ada perspektif penting yang perlu dipertimbangan oleh semua pihak terkait terhadap para mantan napi terorisme.
"Di mata hukum semua orang sama, jika napi terorisme berhak mendapat remisi karena memenuhi syaratnya, maka itu sah saja seperti halnya napi dalam kasus pidana yang lain," ujar Pengamat Terorisme Harits Abu Ulya, Kamis (18/8).
Menurut dia, tidak baik jika label dan stigma teroris dan kecurigaan melekat pada mantan napi teroris terus terjadi, baik disengaja atau tidak. Hal ini karena akan menghambat proses alkuturasi mantan napi di tengah-tengah masyarakat yang majemuk. "Bisa jadi sikap dan perlakuan yang tidak bijak dari aparat terkait akan mengkonstruksi resistensi masyarakat dan mengalenasi eksistensi mereka secara sosial," kata dia. Apabila ini terjadi, sama saja mendorong mantan napi tersebut berpotensi untuk lebih radikal dan melakukan tindakan kontraproduktif.
Oleh karena itu kebutuhan terhadap langkah dan pendekatan humanis perlu dibangun secara maksimal. Harits mengatakan proses edukasi dan pendampingan bagi mereka menjadi kebutuhan penting. Hal itu dinili signifikan mampu membuat para mantan napi fokus menjalani hidup normal, lebih produktif, bermanfaat bagi dirinya dan sesamanya.
Menurutnya, harus dieliminasi adanya langkah dan perlakuan yang diskriminatif dan intimidatif, bahkan menempatkan mantan napi dalam radar kecurigaan, maka ini sangat bahaya. "Jika ini tidak dilakukan, alih-alih menyelesaikan dan mereduksi soal ancaman keamanan justru yang akan terjadi adalah mereproduksi ancaman," kata dia.