REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketika Sultan Harun Al-Rasyid meminta Al-Razi, ilmuwan dan dokter Persia, membangun Bimaristan(rumah sakit tersebut), Al-Razi meletakkan beberapa potong daging di sejumlah area di sekitar Baghdad. Tujuannya untuk mencari lokasi dengan udara yang paling segar. Rupanya, di sekitar Sungai Tigris-lah area yang memiliki hawa udara paling segar. Maka, di sanalah bimaristan itu dibangun.
Dalam hal penataan ruang, bimaristan dipisahkan menjadi dua bagian, satu untuk laki-laki dan lainnya untuk perempuan. Setiap bagian memiliki ruangan besar untuk merawat pasien. Ruangan besar itu masih dibagi-bagi lagi sesuai jenis penyakit.
Misalnya, ada ruangan untuk penyakit dalam, trauma, atau patah tulang dan ruang khusus untuk penyakit-penyakit menular. Ada pula ruangan untuk penerimaan pasien. Tiap-tiap ruang itu ditangani oleh satu dokter atau lebih dan tiap kelompok dokter dipimpin oleh seorang dokter kepala.
(Baca: Awal Tujuan Dibangunnya Bimaristan)
Dalam buku Uyun Al-Anba, Ibnu Abu Usaybah menjelaskan, ruangan penyakit dalam juga memiliki area untuk pasien yang mengalami demam dan gangguan kejiwaan. Abu Usaybah yang dikenal sebagai imam dan penulis besar juga menyebut adanya Bimaristan Al Adadi di pinggiran barat Kota Baghdad. Ketika bimaristan ini hendak dibangun, penguasa pada masa itu memerintahkan ujian evaluasi terhadap 100 calon dokter. Dari jumlah itu, hanya 24 calon dokter yang diterima bekerja di rumah sakit ini.
Kepala semua dokter di rumah sakit itu disebut As-Sa'ur. Sementara, sebagian besar tugas administratif ditangani oleh kaum laki-laki.
Seperti halnya fasilitas kesehatan masa kini, bimaristan juga diperiksa secara berkala oleh utusan khalifah. Dalam pemeriksaan itu, ia berwenang masuk ke rumah sakit untuk bertemu pasien, melihat kondisi mereka, dan mengecek pelayanan kesehatan yang diberikan kepada mereka.
Sumber: Pusat Data Republika