REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta menilai Tim Komite Bersama Reklamasi Pantai Utara Jakarta tidak transparan. Sejak pembentukan tim pada 18 April 2016 lalu oleh Menteri Koordinator Kemaritiman (Menko Maritim) hingga saat ini tidak bisa diakses hasil kajiannya.
Pengacara publik dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Tigor Hutapea mengataka anggota Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta telah mengajukan permintaan informasi terkait hasil kajian Tim Komite Bersama tersebut namun tidak ditanggapi.
"Atas dasar itu, Koalisi pun mengajukan surat keberatan kepada Kemenko Maritim pada 18 Agustus 2016, sesuai dengan prosedur yang ada di UU Keterbukaan Informasi Publik," ujarnya, Jumat (19/8).
Menurut dia, secara normatif, proses pembuatan kebijakan yang tertutup ini bertentangan dengan Pasal 3 UU Keterbukaan Informasi Publik. Publik berhak untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik dan proses pengambilan keputusan publik serta alasan pengambilan suatu keputusan publik.
Merujuk pada UU Keterbukaan Informasi Publik, jika dalam tiga puluh (30) hari kerja informasi yang dimintakan oleh pemohon tidak ditanggapi maka koalisi akan mengajukan sengketa informasi terhadap Kemenko Maritim. Hal ini penting untuk mendesak agar proses pelaksanaan pembangunan di wilayah pesisir sesuai dengan prinsip pembangunan berkelanjutan.
"Di antaranya bahwa pembangunan harus dilakukan secara transparan dan partisipatif," kata Tigor. Proses transparansi menjadi sangat penting jika mencermati pernyataan Menko Maritim yang baru, Luhut Pandjaitan yang akan mengkaji kembali pelaksanaan reklamasi Teluk Jakarta terutama reklamasi di Pulau G.