REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Kabul Astuti
Sebuah tugu bercat putih di tengah-tengah pulau menandai dimulainya lembaran hidup baru penduduk Pulau Untung Jawa. Juga, menandai sebuah bencana ekologis ketika pulau lama mereka lenyap terkikis dihantam abrasi air laut. Alam tak pernah main-main. "Peringatan Kepindahan Rakyat Pulau Ubi ke Pulau Untung Jawa 13-2-1954", demikian bunyi singkat prasasti pada tugu itu.
Adim, kakek tua renta yang muncul melipir lewat jalan sempit di antara dua dinding rumah warga itu berucap antusias. Kepada Republika.co.id, ia mengaku lahir di Kosambi, Tangerang pada 1923, sewaktu Belanda masih berkuasa. "Sini, Kakek ceritakan. Kakek mengalami waktu itu. Bukan kata siapa-siapa, Kakek mengalami sendiri," ucapnya.
Menurut Kakek Adim, sebagian besar penduduk Pulau Untung Jawa merupakan pindahan dari Pulau Ubi Besar yang lenyap terkena abrasi. Warga lainnya berasal dari Tangerang, DKI Jakarta, dan sekitarnya. Riwayat mereka sampai ke pulau ini pun beragam. Menurut dia, generasi muda sudah terlahir di pulau ini.Tetapi, pada zaman dulu, banyak penduduk datang ke Pulau Untung Jawa untuk menyelamatkan diri.
Pada era kolonialisme Belanda, Pulau Untung Jawa dinamai Pulau Amiterdam. Pulau Amiterdam dan beberapa pulau di sekitarnya menjadi basis pertahanan angkatan laut Belanda. "Belanda sebelum jajah Jakarta bikin pertahanan di sini dulu. Masih ada bekas dok (dermaga)," kata Kakek Adim, kemarin.
Selama masa penjajahan, kata dia, banyak penduduk di kampung kelahirannya diperas dan dikejar-kejar. Tidak hanya oleh militer Belanda, melainkan juga oleh penguasa pribumi yang pro pemerintah Kolonial. Mereka yang saban hari hanya bertani, tak punya uang untuk membayar pajak.
"Orang kampung pada lari. Yang tidak lari ditangkap. Dibawa ke kantor, nggak tahu diapakan, namanya zaman itu," tuturnya.