REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berdasarkan hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), 55 persen industri di Indonesia belum tersentuh atau bersentuhan dengan lembaga riset maupun perguruan tinggi.
"Dari jumlah tersebut juga diketahui mereka tidak punya penelitian dan pengembangan, tetapi mereka lebih senang membeli paten dari luar negeri," kata Dirjen Penguatan Riset dan Pengembangan Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti) M Dimyati dalam Forum Diskusi Media-RKSA 2016 di Jakarta, Jumat (19/8).
Ia mengatakan perlu upaya untuk membuat industri mau membuka diri dan memiliki kepercayaan pada peneliti. Perlu dorongan agar peneliti dan industri mau bekerja sama, sambil keduanya berpikir bersama industri membutuhkan keuntungan sehingga perlu inovasi yang benar-benar terserap pasar.
Hilirisasi hasil riset yang memiliki nilai ekonomi tinggi, menurut dia, tidak mudah, angkanya sangat kecil. Jika belajar dari pengalaman Amerika Serikat (AS) dalam mengembangkan inovasi, dari 100 persen invensi yang mampu terdorong hingga ke pasar hanya 22 persen.
Dimyati mengatakan dari 22 persen yang mampu sampai ke pasar sekitar 60 persen biasanya gagal secara teknis, sedangkan 18 persen gagal karena berbagai macam alasan. "Jadi sebenarnya begitu kecil yang sukses. Sehingga saya melihat para pihak yang terkait disitu yakni peneliti, industri, pemerintah benar-benar harus berkomunikasi, bekerja sama, sehingga hilirisasi riset berhasil," ujar dia.
Peneliti UPT Balai Pengembangan Instrumen LIPI Arjon Turnip mengatakan perlu ada media yang memfasilitasi peneliti untuk bertemu lebih sering dengan kalangan industri, sehingga ada evaluasi yang diberikan kalangan industri untuk peneliti.
"Saya sudah presentasi ke rumah sakit, bilangnya tertarik, tapi kelanjutannya tidak tahu seperti apa. Karena tiga pihak ini selalu duduk terpisah selama ini. Ini membuat ketiganya tidak saling tahu satu sama lain dan hanya 'saling menuduh'," ujar dia.
Sementara itu, CEO Wardah Kosmetik Nurhayati Bakar mengatakan begitu banyak penelitian yang dilakukan namun dirinya belum bisa menemukan bahan baku kosmetik yang sesuai. Ia juga telah mencoba untuk berkomunikasi pada peneliti melalui pameran, namun sayangnya belum ada peneliti yang menyambut.
"Padahal kebutuhan bahan baku kosmetik itu besar dan cepat berubah, mengingat kosmetik sama dengan fashion, cepat berganti tren," katanya.
Jika pun ada yang mengembangkan bahan baku kosmetik, menurut dia, kualitasnya belum baik sehingga berpengaruh pada produk akhirnya. Riset dan teknologi yang lebih maju harus terus dilakukan.