REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tiga fraksi di DPR menolak pengesahan Perppu Kebiri. Ketiga fraksi tersebut adalah Fraksi Gerindra, PKS dan PAN.
Rahayu Saraswati dari Fraksi Gerindra mengatakan, mendukung sebagian isi Perppu tersebut. Namun, banyak catatan yang harus dipertimbangkan dan belum diakomodasi, sehingga akan jadi kekurangan yang cukup fatal.
"Kami masih perlu penjelasan pemerintah guna jawab pertanyaan dari aktivis dan lembaga," kata Rahayu, dalam sidang paripurna, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (23/8).
Menurutnya, Perppu itu hanya fokus kepada pelaku. Sedangkan, korban yang bertambah belum dapat perhatian penuh dari negara. Apalagi, trauma akibat kekerasan seksual tidak bisa hilang dalam sekali terapi.
Selain itu, dia mengatakan untuk menjalankan hukuman kebiri kimia dan pemasangan chip membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Belum lagi, teknis pelaksanaan hukuman dan pasca dihukum pun dinilai belum jelas.
Apalagi, kasus kekerasan seksual tidak semata-mata karena persoalan hormonal. Tapi bisa juga kekerasan itu disebabkan oleh gangguan jiwa seperti pedofil. Oleh karena itu, apakah orang pelaku yang melakukan aksinya karena ganguan jiwa bisa selesai dengan dikebiri. "Apa yang disajikan Perppu tetap membuka peluang untuk terjadi seperti salah sasaran," ujarnya.
Gerindra juga melihat masih data yang dijadikan bahan oleh pemerintah dalam membuat Perppu yang belum komprehensif. Pemerintah mengklaim selama ini kekerasan seksual terhadap anak-anak meningkat, tapi tidak bisa menjelaskan data mana yang mereka gunakan.
Bukan hanya itu, Kemenkumham tidak mengirim utusan yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan dari Komisi VIII DPR. Rahayu meminta, DPR sebaiknya jangan membuat keputusan yang gegabah, agar menghasilkan keputusan solutif. "Karena itu, Gerindra menolak Perppu kebiri jadi UU," jelas dia.
Anggota fraksi PKS Ledia Hanifa menyatakan, ada sejumlah catatan yang belum terjawab dan akan menimbulkan kesulitan tersendiri bagi pemerintah untuk implementasinya. Selain itu, ada prosedur yang dilanggar yaitu Pasal 22 UU 1945. Presiden menandangtangani Perppu tersebut pada 25 Mei 2016, sedangkan masa sidang saat itu jatuh pada 17 Mei.
"Maka harusnya ini dibahas di masa sidang mendatang. DPR melanggar aturan yang dibuat sendiri. Selain substansi, ini penting diperhatikan. Ini tidak diperhatikan oleh kita. Kami sampaikan belum dapat setujui karena prosesnya," jelas dia.
(Baca Juga: Pengesahan Perppu Kebiri Ditunda)