REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan pihaknya peduli terhadap perlindungan konsumen rokok sehingga mendukung wacana kenaikan harga rokok sebagai instrumen untuk melindungi masyarakat. YLKI juga menilai rokoh itu memberikan dampak negatif bagi konsumen.
"Kalangan pro-tembakau menuding YLKI sebagai lembaga yang tidak peduli pada konsumen perokok. Padahal, YLKI justru menaruh perhatian pada konsumen rokok, bahkan calon perokok," kata Tulus di Jakarta, Selasa (23/8).
Tulus mengatakan bentuk perlindungan YLKI terhadap konsumen rokok dan calon perokok tidak bisa disamakan dengan barang lain seperti makanan, minuman, obat-obatan atau bahkan sektor jasa.
Pasalnya, rokok merupakan barang tidak normal. Hal itu terbukti dengan pengenaan cukai yang merupakan "pajak dosa", berbeda dengan makanan, minuman dan jasa yang merupakan barang normal yang hanya dikenai pajak biasa.
"Mengapa rokok dikenai cukai sebagai 'pajak dosa'? Karena rokok menimbulkan dampak negatif bagi konsumen, masyarakat sebagai perokok pasif bahkan lingkungan. YLKI peduli agar konsumen rokok tidak semakin terperosok dampak negatif rokok itu," tuturnya.
Perlindungan terhadap masyarakat dari dampak rokok itu adalah pengenaan cukai yang tinggi sehingga harganya menjadi mahal; pembatasan penjualan, peringatan kesehatan bergambar; pelarangan iklan, promosi dan sponsor serta penegakan kawasan tanpa rokok.
"Karena itu, YLKI mendukung bahkan mendorong wacana harga rokok minimal Rp50 ribu per bungkus sebagai instrumen perlindungan konsumen rokok bahkan bukan perokok, terutama di kalangan masyarakat menengah bawah, anak-anak dan remaja," katanya.