REPUBLIKA.CO.ID, KENDARI -- Dekan Fakultas Hukum Universitas Sulawesi Tenggara (Unsultra) Amir Faisal menilai penetapan Gubernur Sultra Nur Alam menjadi tersangka dalam dugaan kasus suap penerbitan Izin Pertambangan PT Anugerah Harisma Barakah (AHB)di Sultra tahun 2009-2014, terlalu terburu-buru.
"Pasalnya kasus ini pernah ditangani Kejaksaan Agung (Kejagung) RI dan hasilnya kasus ini SP3 dan belum dibuka kembali oleh Kejagung," kata Amir Faisal di ruang kerjanya di Kendari, Rabu (24/8).
Menurut dia, dalam prespektif Hukum, sebuah kasus apabila telah dinyatakan SP3 dan boleh dilanjutkan lagi jika ditemukan bukti baru, kemudian yang harus membuka kembali kasus tersebut ialah Kejagung.
"Sepengetahuan saya, berdasarkan pemberitaan media, selama ini Kejagung belum membuka kembali kasus ini," katanya.
Dijelaskan, bila kasus ini dibuka kembali kepermukaan maka yang berhak melakukan penyelidikan lanjutan ialah Penyidik Kejagung bukan KPK.
Seharusnya lanjut Amir Faisal, KPK harus melihat pangkal persoalan tersebut dari mana izin pertambangan tersebut bermula diproses hingga terbit menjadi sebuah produk hukum.
Selanjutnya kata Amir, bupati membuat rekomendasi penertibatan izin lalu dibawa ke meja Gubernur. Jadi setelah sampai ke meja Gubernur, tentu izin tersebut sudah clean and clear kemudian selanjutnya ditandatangani oleh Gubernur selaku pemegang kewenangan, tetapi sebelumnya sudah dikaji oleh Dinas ESDM Sultra.
"Karena itu, KPK harus memeriksa terlebih dahulu semua yang terlibat dalam proses penerbitan izin itu sebelum ketangan gubernur," katanya.
Sebelumnya, KPK menetapkan Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam sebagai tersangka dugaan tindak pidana korupsi terkait pemberian izin eksplorasi di kabupaten Buton dan Bombana, Sulawesi Tenggara.
KPK menetapkan Nur Alam berdasarkan sangkaan pasal 2 ayat 1 atau pasal 3 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.