REPUBLIKA.CO.ID, PALU -- Lembaga Pengembangan Studi Hak Asasi Manusia (LPS-HAM) mendesak pemerintah daerah untuk memulihkan ekonomi bagi sejumlah wilayah teror di Kabupaten Poso. Dikatakan, pemerintah harus membuka kembali dokumen Deklarasi Malino yang disepakati 14 tahun lalu.
"Inti permasalahan di Poso saat ini hanya berputar pada persoalan ekonomi saja. Dua poin dalam deklarasi (Malino) tersebut tidak pernah dilaksanakan sama sekali," kata Direktur LPS-HAM, Affandi di Palu, Rabu (24/8).
Dua dari sepuluh poin deklarasi, yakni semua hak-hak dan kepemilikan harus dikembalikan kepada pemiliknya yang sah sebagaimana adanya sebelum konflik dan perselisihan berlangsung. Kemudian, mengembalikan seluruh pengungsi ke tempat asal masing-masing.
"Kedua poin tersebut bersentuhan dengan perekonomian dan kehidupan masyarakat, ujarnya.
Menurut Affandi, warga bekas konflik Poso yang telah menggungsi tidak dapat kembali ke daerah asalnya karena trauma. Sementara di daerah asalnya, masyarakat tersebut masih memiliki asset-aset yang menjadi sumber penghidupan. "Di daerah pengungsian mereka tidak memiliki apa-apa. Sehingga ini harusnya menjadi perhatian pemerintah," ucapnya.
Dari segi pemulihan ekonomi, seharusnya masyarakat bekas konflik yang tidak dapat kembali ke daerahnya dan tidak mendapatkan hak-hak keperdataannya, dapat menjadi perhatian khusus pemerintah. "Mereka itu yang wajib diberikan bantuan," katanya. Pemerintah seharusnya memberikan modal usaha, lahan pertanian atau perkebunan bagi petani. "Atau alat tangkap ikan bagi nelayan," kata Fandi.
Tidak hanya itu, pemerintah juga dapat membangun infrastruktur dan pelatihan kerja. Karena masyarakat yang tidak dapat kembali ke daerahnya pasti akan menyesuaikan diri dengan lingkungan dan pekerjaan baru. "Jadi bukan soal bagaimana kita menjaga keamanan dan ketertiban bersama aparat kemananan di Poso, tapi bagaimana membangun ekonomi masyarakat sehingga kesenjangan sosial dan ekonomi setiap daerah tidak terjadi lagi," kata Affandi.