REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan akan mendalami kasus dugaan korupsi yang menimpa Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) Nur Alam. Tjahjo mengatakan akan menunggu proses hukum di KPK sebelum memutuskan menonaktifkan Nur Alam.
"Kami, Kemendagri akan periksa besok di Jakarta terkait permasalahan detailnya, apakah itu tentang kebijakan atau masalah lain," katanya di Jakarta, Rabu (24/8).
Menurutnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memang sudah melaksanakan koordinasi supervisi (korsup) mengenai area rawan korupsi, sehingga saat kemudian muncul dugaan kasus korupsi kepala daerah ini ia menyesalkannya. Terkait dengan penonaktifan jabatan Gubernur Sultra Nur Alam itu, Mendagri menyatakan akan menunggu proses hukum kasus kepala daerah itu.
"Ini kan bukan kasus tangkap tangan. Kalau OTT langsung diberhentikan," ujarnya.
Ia menjelaskan dalam Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, kepala daerah dapat diberhentikan sementara atau nonaktif, jika yang bersangkutan telah menjadi terdakwa di persidangan.
Selanjutnya, pemberhentian kepala daerah secara tetap baru bisa dilaksanakan, jika telah ada putusan tetap dan mengikat dari pengadilan bahwa yang bersangkutan dinyatakan bersalah, ujar Tjahjo pula.
KPK menetapkan Gubernur Sultra Nur Alam sebagai tersangka dalam perkara korupsi terkait pemberian izin eksplorasi tambang di Kabupaten Buton dan Bombana, Selasa (23/8). Wakil Ketua KPK Laode M Syarif mengatakan penyidik KPK telah menemukan dua alat bukti dan menetapkan Gubernur Sultra Nur Alam sebagai tersangka.
Tersangka diduga melakukan perbuatan melawan hukum dan menyalahgunakan wewenang untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi dengan mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan Eksplorasi.
Nur Alam juga diduga menyalahgunakan wewenang denga menerbitkan SK Persetujuan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi, dan SK Persetujuan Peningkatan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi menjadi Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi kepada PT Anugerah Harisma Barakah (AHB) selaku perusahaan yang melakukan penambangan nikel di Kabupaten Buton dan Bombana. Penerbitan surat-surat keputusan tersebut diduga tidak sesuai dengan aturan yang berlaku.