Man Jadda wa Jada,Gagal Cerdas, dan Iman yang Turun Naik
Oleh : Erie Sudewo, Pendiri Dompet Duafa
“Mas, boleh saya minta waktu?” Sapa seseorang. Saya terkejut. Padahal saya sedang "tersepona" studio TVRI. Fasilitas lebih dari cukup. Lahan yang luas di bilangan elit Jakarta, buat nanar pengembang raksasa. Yang buat saya manggut-manggut lagi, jangan lupa TVRI punya pemerintah.
TVRI itu yang pertama tayangkan televisi di Indonesia, Bro. Televisi yang laen ngikut aja. Cuma begicu deh! Rate-rate pengikut pade kurang ajar ame sabiquna awwalun. Bangsa ini gede banget. Apanya? Problemnya. Hingga hargai pendahulu pun butuh diskusi puluhan tahun. Celakanya tak selesai-selesai. Kenapa? Sebab makin ke sini, semua kalkulasi cuma transaksional doang.
Anda tahu yang menyapa saya? “Ahmad Fuadi, kan?” Jawab saya dengan bertanya.
Dia mengangguk. Waaah mimpi apa saya ditegur penulis buku “Negeri Lima Menara”. Buku keren hingga tak heran jadi best seller. Buku itu khas. Saya amati wajah Ahmad Fuadi. Buku dan wajah, klop. Wajahnya jenaka, enak dipandang. Bukunya kental dengan aura buncahan mimpi bocah-bocah pesantren. Mengungkap obrolan di jelang bobo, satu penggalan kisah kehidupan pesantren.
Buku ini kuat positioning-nya. Membalut syiar jadi ringan, bersahaja, dan punya daya betot. Agar yang muda-muda tertarik dalami Islamnya. Seorang rekan, Tumpal Simanjuntak, bilang: “Simak dulu sebelum gaduh”. Lagi-lagi saya yang kena. Saya muslim, tapi warisan. Belum dalami agama, sudah lantang berteriak. Seolah saya paling sahih wakili umat.
Buku “Negeri Lima Menara” ini juga cairkan kesan pesantren yang serba sereeem. Untuk mandi pun, katanya musti berjuang. Antrinya memang satu hal. Cuma taklukan mules perut di antrian, itu perjuangan sesungguhnya.
Hingga candanya Emha Ainun Najib buat ketar ketir siapapun: “Jika gak gudikan, bukan pesantren namanya”. Weleeeeh... Tak heran Emha disemati gelar, kyai mbeling.