REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Sebelum Wendy membeli burkini pertamanya pada musim panas ini, muallaf berusia 22 tahun itu biasa menggunakan legging, rok tenis, dan kaus untuk menikmati pantai.
"Saya tidak paham mengapa saya harus menggunakan bikini ketika sedang berlibur. Itu tidak masuk akal," ujarnya seperti dikutip dari Malay Mail Online, Rabu (24/8).
Mahasiswa jurusan hukum dari Lille itu adalah satu dari beberapa perempuan Muslim yang merasa dirugikan karena adanya larangan menggunakan pakaian renang yang menutup seluruh tubuh di pantai-pantai Prancis.
Aksi tersebut lantas memunculkan kehebohan. Dewan Pemerintahan Prancis akan menguji permohonan dari Human Rights League tentang pencopotan larangan yang sudah diberlakukan di 15 pantai.
Pakaian renang yang tampak seperti baju selam lengkap dengan penutup kepala itu didesain oleh seorang Australia Aheda Zanetti. Belakangan ini, karyanya semakin populer. Sang desainer menyampaikan bahwa banyak pula pesanan yang datang dari kalangan bukan Muslim seperti para penyintas kanker kulit.
(baca: Aheda Zanetti Buktikan Burkini tak Hanya Digunakan Muslim)
Wendy menilai perdebatan ini tidak masuk akal karena justru semakin menunjukkan peningkatan Islamofobia di Prancis.
Di Prancis yang berpopulasi sekitar lima juta penduduk Muslim, burkini sejatinya tergolong langka dan hanya beberapa perempuan Muslim yang mengenakannya di pantai. Seorang ibu dua anak yang tidak mau disebut namanya mengaku mendapat denda karena berkunjung ke pantai di Cannes dengan mengenakan legging dan jilbab. Alasan denda tersebut adalah karena ia tidak mengenakan pakaian yang menunjukkan moral baik dan sekularisme.
"Saya hanya berencana duduk santai di pantai bersama keluarga. Saya tak berniat berenang," ujarnya.
Saksi dari kejadian itu adalah seorang jurnalis Mathilde Cusin. "Hal yang paling menyedihkan adalah orang-orang justru meneriakinya untuk pulang dan beberapa memberi tepuk tangan untuk polisi. Anak perempuannya menangis," ujar Cusin.