REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Manajer Kampanye Hutan dan Perkebunan Skala Besar Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Zenzi Suhadi mengatakan kepolisian telah bertindak cepat dalam memproses kasus kebakaran hutan dan lahan (Karhutla). Namun, kepolisian dinilai salah sasaran dalam menindak pihak korporasi yang diduga sebagai penyebab utama Karhutla.
"Kepolisian memang bergerak cepat. Tetapi seolah menghindari fungsi ideal , yakni menindak pihak-pihak yang diduga paling bertanggungjawab dalam kasus Karhutla," tegasnya kepada Republika.co.id di Jakarta, Jumat (26/8).
Bentuk salah sasaran tersebut terindikasi dari pemberian surat perintah pemberhentian penyidikan (SP3) kepada 15 korporasi yang tersangkut kasus Karhutla. Berdasarkan penelusuran WALHI, setiap tahun ditemukan titik-titik api di tengah lahan konsesi (lahan yang telah mendapat izin pemanfaatan) belasan korporasi. Titik api secara rutin terpantau di lahan konsesi 11 dari 15 korporasi penerima SP3.
Pola temuan titik api yang diduga berasal dari pembakaran lahan itu terjadi seperti siklus. Zenzi menjelaskan, jika pada tahun pertama ditemukan pembakaran di titik lahan A, maka tahun berikutnya akan dijumpai penanaman di lahan tersebut (pola bakar tanam). Temuan kedua, kata dia, terjadi di Jambi, Riau dan Kalimantan Tengah. Di ketiga daerah, titik api Karhutla berasal dari dalam lahan konsesi.
"Mengapa diyakini ada proses pembakaran? Karena masyarakat sejak awal menolak perluasan lahan oleh korporasi. Alat-alat berat yang coba digunakan dapat dihalau oleh masyarakat, tetapi pada akhirnya setelah ada pembakaran di tengah lahan mereka tidak bisa apa-apa," katanya.
Dari kedua temuan di atas, pihaknya menyimpulkan jika api masih menjadi alat utama bagi korporasi untuk memperluas kepentingan di lahan konsesi. Menurut dia, temuan ini sekaligus menampik pernyataan kepolisian yang menyebut beberapa latar belakang dikeluarkannya SP3.
"Sebab, ada satu hal lain yang kami temukan, yakni adanya tren pemberian SP3 kepada beberapa korporasi di Riau. Kami menelusur dari kasus illegal logging pada 2008. Dari situ, ada tiga dari belasan perusahaan yang mendapat SP3 kasus karhutla, ternyata pernah mendapat SP3 untuk dugaan keterlibatan illegal logging sebelumnya," jelasnya.
Sebelumnya, sebanyak 15 korporasi yang tersangkut kasus karhutla mendapat Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), yakni PT Parawira Group (ditangani Polres Pelalawan), KUD Bina jaya Langgam (ditangani Polres Pelalawan), PT Bukit Raya Pelalawan (ditangani Polres Pelalawan), PT Bina Duta Laksana (Ditreskrimsus), PT Perawang Sukses Perkasa Indah (Ditreskrimsus) dan PT Pan United (Ditreskrimsus).
Selain itu, PT Alam Sari Lestari (Ditreskrimsus), PT Riau Jaya Utama (Ditreskrimsus), PT Suntara Gaja Pati (Polres Dumai), PT Siak Timber Raya (Ditreskrimsus), PT Hutani Sola Lestari (Ditreskrimsus), PT Dexter Rimba Perkasa (Polres Rohil), PT Ruas Utama Jaya (Polres Rohil), PT Sumatera Riang Lestari (Ditreskrimsus) dan PT Rimba Lazuardi (Ditreskrimsus).
Belasan perusahaan tersebut dihentikan proses penyidikannya karena tidak cukup bukti secara hukum.
"Tidak cukup bukti. Data awal ada di kawasan perusahaan, setelah disidik, ternyata izin perusahaan sudah habis. Ada juga yang kawasan sengketa, jadi bukan milik perusahaan," demikian Irjen Pol Ari Dono Sukmanto.