REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Kredit macet atau non performing loan (NPL) Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Jawa Tengah meningkat.
"Jika pada semester satu tahun lalu NPL sebesar 6,58 persen saat ini meningkat menjadi 6,85 persen pada periode yang sama," kata Kepala OJK Kantor Regional III Jawa Tengah-DIY Panca Hadi Suryatno di Semarang, Jumat (26/8).
Dengan peningkatan tersebut pihaknya kembali mengingatkan kepada BPR untuk segera menurunkan NPL, paling tidak bisa di bawah lima persen. "Bagi kami yang bertindak sebagai otoritas pengawasan, mengawalnya harus semakin ketat. Perlu ada perhatian di sini," katanya.
Dikatakan, NPL BPR secara nasional sebesar 6,53 persen. Artinya, NPL BPR di Jawa Tengah lebih tinggi jika dibandingkan dengan nasional.
"Sebetulnya tidak banyak BPR yang mengalami kesulitan tetapi mau tidak mau semua BPR harus ikut berperan dalam penurunan NPL," katanya.
Sementara itu, akibat kreditnya bermasalah sebagian BPR terpaksa mengurangi ekspansi kredit. Dikatakan, kredit yang sudah disalurkan permasalahannya semakin besar.
"Di satu sisi pembaginya tidak bertambah tetapi yang dibagi semakin besar. Ini yang perlu diperhatikan, jadi ada penurunan kualitas NPL sebesar 0,27 persen," katanya.
Meski tidak menyampaikan secara rinci, diakuinya NPL lebih banyak berasal dari kredit produktif dibandingkan konsumtif. Menurut dia, kredit konsumtif cenderung lebih aman karena menerapkan sistem potong gaji.
"Biasanya kredit konsumtif ini untuk PNS atau karyawan yang memang penghasilannya tetap, berbeda dengan produktif yang penghasilannya tidak tetap," katanya.
Meski demikian, pihaknya terus mendorong BPR untuk tetap menyalurkan kredit produktif ke skala mikro. "Kami menilai efeknya akan besar. Selama ada usahanya, kalau usaha semakin berkembang otomatis penghasilan si debitur akan semakin meningkat. Dampaknya akan kelihatan," katanya.