REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Pelayanan Kefarmasian Kementerian Kesehatan Bayu Teja Muliawan mengatakan, pembelian obat dengan katalog-e jauh lebih murah. Harga obat bisa turun 20 hingga 30 persen.
"Makanya sebaiknya rumah sakit-rumah sakit membeli obat lewat e-katalog. Saya sarankan ini teruma bagi rumah sakit yang meneriman pasien peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)," katanya, Sabtu, (27/8).
Obat-obatan yang di beli oleh rumah sakit melalui e-katalog, Bayu mengatakan sebaiknya diberikan kepada pasien yang menjadi peserta JKN alias peserta BPJS Kesehatan. Obat sebaiknya tak di jual kepada pasien dengan harga reguler sebab obat yang dibeli lewat katalog-e harganya jauh lebih murah.
Namun, kalau rumah sakit sangat membutuhkan obat tetapi tak bisa beli lewat katalog-e, rumah sakit bisa membeli obat melalui Pedagang Besar Farmasi (PBF) resmi. Ini dilakukan guna menghindari adanya obat palsu atau vaksin palsu, sehingga harus beli di tempat resmi dan terdaftar.
Bayu menambahkan, untuk mencegah kekosongan obat ke depan, pihaknya akan membuat e-monitoring dan evaluasi atau e-monev. Melalui e-monev industri farmasi, produsen, rumah sakit, puskesmas mengetahui produk obat apa yang sangat dibutuhkan, stok obatnya berapa, di mana daerah yang kekurangan obat.
"Dengan e-monev kalau obat sudah tinggal sedikit, industri farmasi bisa menambah produksinya. Kalau suatu daerah kekurangan obat tertentu, produsen bisa mengirimkan obat yang dibutuhkan itu," katanya.
Selain stok obat yang cukup, Bayu menjelaskan untuk mencegah kekurangan obat juga dibutuhkan SDM yang berkualitas dalam pengelolaan obat. Ini untuk meminimalisir kekurangan obat.
Ketua Umum IKKESINDO dan Ketua IndoHCF Supriyantoro menambahkan, obat dan vaksin program kesehatan yang disediakan oleh pemerintah pusat melalui APBN tidak akan berarti apabila tidak tersedia pada fasilitas kesehatan pada waktu yang tepat. Peningkatan koordinasi yang lebih baik lintas sektoral sangat dibutuhkan untuk menjamin obat dan vaksin tersedia pada fasilitas kesehatan dalam jumlah yang cukup dan pada waktu yang dibutuhkan.
"Ini bukan hanya tanggung jawab Kementerian Kesehatan. BPOM juga harus memiliki peran dalam hal pengelolaan perbekalan farmasi," ujarnya.