REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Pejabat senior peradilan Iran menilai hukuman mati gagal untuk mengurangi terjadinya perdagangan narkotika di negara itu. Kritik ini muncul setelah pengadilan mengeluarkan putusan eksekusi terhadap 12 orang yang terkait dengan kejahatan tersebut.
Selama ini, Iran menjadi salah satu negara yang menerapkan aturan keras terkait narkotika. Pada 2015 lalu, hampir 1.000 tahanan yang melakukan pelanggaran serta kejahatan obat-obatan terlarang itu telah dieksekusi mati.
Banyak narkotika yang ada di Iran diselundupkan melalui perbatasan negara itu dengan Afghanistan. Bahkan, obat-obatan terlarang yang datang ke negara itu disebut merupakan salah satu pemasokan terbesar, yaitu sebesar 90 persen dari opium yang akhirnya tersebar di seluruh dunia.
"Pada kenyataannya, eksekusi mati bagi para penyelundup narkotika tidak memiliki efek jera. Kami telah berjuang penuh untuk menindak mereka namun, peningkatan perdagangan obat terlarang ini di Iran tetap meningkat," ujar wakil peradilan Iran untuk bidang sosial, Mohammad Baqer Olfat, dikutip kantor berita Tasnim, Ahad (28/8).
Ia menjelaskan, peningkatan perdagangan narkotika juga meliputi banyaknya jenis obat yang dijual, serta jumlah orang yang terlibat di dalamnya. Karena itu, Olfat menyarankan agar pengadilan menjatuhkan hukuman penjara jangka panjang serta kerja keras untuk mereka yang terlibat perdagangan narkotika.
Sementara itu, Sekretaris Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) Iran, Mohammad javad Larijani juga memandang hukuman mati tidak menyebabkan kejahatan narkotika turun secara signifikan. Karena itu, kebijakan aturan tersebut dinilainya harus dikaji dan dievaluasi kembali.
PBB juga mendesak agar Iran menghentikan eksekusi mati yang akan dilakukan terhadap 12 orang terkait kejahatan narkotika baru-baru ini. Prosedur hukuman mati dinilai tidak sesuai untuk mengatasi kejahatan tersebut.
"Sangat disesalkan Pemerintah Iran terus melakukan eksekusi mati untuk kejahatan yang bagi kami tidak memenuhi ambang kejahatan paling serius sesuai hukum internasional," ujar perwakilan PBB bidang HAM, Ahmed Shaheed, dilansir Reuters.