REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Rencana Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) menurunkan tarif Interkoneksi dinilai hanya mencari popularitas dengan merugikan negara dan menguntungkan operator asing yang beroperasi di Indonesia.
Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja BUMN Strategis, Wisnu Adhi Wuryanto mengatakan penurunan tersebut tidak menjamin penurunan tarif ke pelanggan.
Yang sudah jelas adalah menguntungkan operator asing dan merugikan negara karena pihak yang dirugikan adalah BUMN.
“Ini hanya langkah mencari popularitas bagi pengguna jasa saja,” katanya dalam siaran persnya di Jakarta, Ahad (28/8).
Selain prosesnya yang terkesan terburu-buru, menurut Wisnu, asas kepatutan penandatangan diabaikan.
Untuk kondisi sekarang tanpa adanya Ketua Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) seharusnya tidak layak seorang PLT DIRJEN menandatanganinya.
Isi surat tersebut, ungkap Wisnu, juga terindikasi melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi, khusus mengenai penetapan tarif interkoneksi yang seharusnya didasarkan pada Pasal 22 dan 23 PP tersebut.
Pasal 22 berbunyi: “Kesepakatan interkoneksi antar penyelenggara jaringan telekomunikasi harus tidak saling merugikan dan dituangkan dalam perjanjian tertulis”.
“Artinya tarif interkoneksi tersebut harusnya merupakan kesepakatan seluruh operator,” katanya
Sedangkan di pasal 23 ayat (1) juga dijelaskan “Dalam menyelenggarakan jasa telekomunikasi melalui 2 (dua) penyelenggara jaringan atau lebih, dikenakan biaya interkoneksi”.
Kemudian dilanjutkan di ayat (2) bahwa “Biaya interkoneksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan berdasarkan perhitungan yang transparan, disepakati bersama dan adil”.
Sementara, Wisnu menganggap sebagian operator tidak sepakat hasil penetapan pihak Kominfo karena perhitungannya tidak tratsparan, merugikan, dan tidak adil.
Menurut Wisnu, lantaran terindikasi melanggara, surat edaran ini potensial dilakukan gugatan ke PTUN, atau bila nantinya dikeluarkan melalui Peraturan Menteri maka potensial diajukan Judicial Review ke Mahkamah Agung.
Dari sisi besar keuntungan operator asing dan kerugian negara, ungkap Wisnu, jika melihat besaran tarif interkoneksi yang ditetapkan Rp 204, sedangkan pada rapat dengar pendapat antara Komisi I DPR dengan para CEO operator pada 25 Agustus 2016 lalu, terungkap sebagai berikut.
Yaitu, cost recovery Rp 65,-/menit XL akan untung Rp 139/menit, untuk Indosat dengan recovery Rp 87/menit akan untung Rp 117/menit, untuk Hutchinson dengan cost recovery Rp 120/menit akan jadi untung Rp 84/menit,
Khusus untuk Telkomsel dengan cost recovery Rp. 285/menit akan rugi Rp. 81/menit. Jika trafik interkoneksi antar operator Rp 10 miliar menit per bulan, bisa dihitung berapa keuntungan operator asing tersebut dan kerugian Telkomsel? “Misal kerugian Telkomsel di sini Rp 800 milyar per bulan,” tuturnya.
Wisnu beranggapan, idealnya kementerian menetapkan tarifnya tidak sama rata, tetapi konsisten berbasis biaya masing masing operator.
Melihat indikasi kerugian negara karena Telkomsel adalah anak usaha BUMN dan indikasi memperkaya pihak lain ini.
“Walau kebijakan ini populis, kami sedang mengkaji dengan serius untuk melaporkan kebijakan ini KPK dan BPK,” katanya.