Senin 29 Aug 2016 20:23 WIB
Suap Proyek Kementerian PU

Politikus PDIP Dituntut Enam Tahun Penjara dan Pencabutan Hak Politik

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Bayu Hermawan
Terdakwa suap terkait proyek jalan trans-Seram Kemen PUPR di Maluku dan Maluku Utara, Damayanti Wisnu Putranti menjalani sidang dengan agenda pembacaan tuntutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (29/8).
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Terdakwa suap terkait proyek jalan trans-Seram Kemen PUPR di Maluku dan Maluku Utara, Damayanti Wisnu Putranti menjalani sidang dengan agenda pembacaan tuntutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (29/8).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi V DPR RI Damayanti Wisnu Putranti dituntut pidana tahun enam tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan oleh jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Jaksa menganggap Damayanti terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi terkait dugaan suap proyek pembangunan jalan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dan telah melanggar Pasal 12 huruf a Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 jo Pasal 55 ayat 1 jo pasal 65 ayat 1 KUHP.

"Menuntut majelis hakim menjatukan pidana 6 tahun penjara dikurangi masa tahanan dan denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan," kata Jaksa Iskandar Marwanto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Jakarta Pusat, Senin (29/8).

Selain itu, jaksa juga meminta hakim menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik setelah lima tahun selesai menjalani pidana pokok.

Jaksa dalam pertimbangannya, mengatakan pencabutan hak politik bagi anggota DPR Fraksi PDI Perjuangan tersebut lantaran perbuatan Damayanti telah mencederai kepercayaan publik. Padahal, jabatan yang diembannya itu menghimpun aspirasi rakyat.

Selain itu yang memberatkan Damayanti, ia juga tidak mendukung upaya pemerintah yang tengah giat dalam pemberantasan korupsi, terlebih jabatan strategisnya sebagai anggota DPR.

Adapun sejumlah hal yang meringankan, Damayanti telah mengaku bersalah dan menyesali perbuatannya, mengembalikan uang dan berlaku sopan selama persidangan. Selain itu, yang meringankan lainnya juga Damayanti bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk menungkap pelaku lainnya atau menjadi Justice Collaborator sejak 19 Agustus 2016 lalu.

"Terdakwa memberikan keterangan dan bukti signifikan yang membantu penyidik mengungkap pelaku lain," ujar Iskandar.

Atas tuntutan ini, Damayanti akan mengajukan pledoi atau pembelaan yang akan dilaksanakan pada Rabu 7 September 2016 mendatang.

Kepada wartawan, Damayanti sendiri enggan berkomentar banyak perihal tuntutan yang jaksa penuntut umum kepada dirinya. Begitu pun permintaan pencabutan hak untuk dipilih bagi dirinya usai lima tahun menjalani hukuman pokok.

"Saya mau menjadi ibu dari anak-anak saya saja," kata dia.

Namun, ia hanya menyampaikan ucapan terima kasih atas diterimanya justice collaborator (JC) yang diajukan pihaknya kepada KPK. Hal ini sebagaimana harapannya agar JCnya diterima oleh KPK.

"Apa yang saya lakukan berarti dihargai oleh JPU, Pimpinan KPK, dan para penyidik, saya mau ucapkan terimakasih," kata Damayanti.

Diketahui, Damayanti sebelumnya didakwa menerima suap sebesar Rp 8,1 miliar dari Direktur PT Windhu Tunggal Utama, Abdul Khoir. Uang sebanyak itu diberikan kepada Damayanti dengan tujuan agar Damayanti mengusahakan proyek pembangunan jalan di provinsi Maluku dan Maluku Utara masuk ke dalam program aspirasi Komisi V DPR dan diharapkan dapat masuk dalam RAPBN KemenPUPR tahun 2016.

Atas perbuatannya, Damayanti didakwa telah melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi(UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 65 ayat 1 KUHP.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement