REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat terorisme, Haris Abu Ulya menilai, kualitas serangan bom oleh IAH (18) terhadap pastor di Gereja Katolik Stasi Santo Yosep, Medan belum bisa disebut aksi terorisme. Hal tersebut jika dibandingkan kasus lainnya seperti bom alam sutera.
Simbol kelompok radikal dalam peristiwa tersebut disebutnya sebagai bagian skenario freaming dari isu yang akan dikelola. Haris meminta polisi melacak orang yang bermain dibalik IAH.
"Masyarakat perlu melek, satu kasus tidak selalu murni inisiatif kelompok atau individu tertentu," ujar Haris saat dihubungi Republika.co.id, Senin (29/8).
Namun, menurut Haris, bisa jadi hal tersebut merupakan skenario intelijen dengan memanfaatkan kelompok tertentu. Pendekatan terhadap individu yang labil dengan indoktrinasi dan tawaran materi pun dilakukan.
Haris berharap upaya serangan bom terhadap pastor di Gereja Katolik Stasi Santo Yosep tidak ditanggapi berlebihan. Upaya tersebut, kata Haris, lebih baik dipandang sebagai delik pidana yang membahayakan orang lain.
"Kalau harus dijustifikasi sebagai aksi terorisme kesannya kelewat mendramatisir," kata Haris.
Lebih lanjut Haris menuturkan, kontrol orang tua terhadap anak semakin kurang. Anak lebih banyak mengisi kegiatan di dunia maya melalui teknologi. Hal itu, menurut Haris, menjadi penyebab hilangnya kontrol orang tua kepada anak. Anak pun bisa bergaul dengan siapa saja tanpa ada pengawasan orang tua.
Situasi seperti ini, dinilai berbahaya bagi anak. Karena bisa mudah berinteraksi dengan intelijen gelap untuk kemudian dicuci otak. "Sehingga mau melakukan aksi demi kepentingan politik atau proyek tertentu," tuturnya.