REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Kementerian Dalam Negeri Prancis mengundang sejumlah tokoh Muslim setempat untuk mendiskusikan Islam yang kontekstual dengan nilai-nilai Prancis.
“Saya kira, kita sedang membuat kemajuan yang berarti di sini dalam beberapa pekan ke depan. Tujuannya, untuk membangun beberapa lembaga dan hubungan yang baik antara Muslim Prancis dan pemerintah,” kata Menteri Dalam Negeri Prancis, Bernard Cazeneuve, seperti dikutip Daily Mail, Senin (29/8).
Sebagai negara yang berdiri atas dasar sekular, Prancis akhir-akhir ini dilanda polemik ihwal kebebasan berbusana di ruang publik. Sebanyak 30 kota tepi pantai Prancis sebelumnya melarang pemakaian burkini, pakaian pantai untuk perempuan yang menutupi hampir seluruh tubuh.
Aturan tersebut akhirnya ditangguhkan sejak Jumat (26/8), lantaran dinilai mengekang kebebasan Muslim perempuan untuk memilih pakaian. Tak hanya itu. Beberapa insiden telah terjadi dan ikut memperparah tensi Islamofobia. Misalnya, serangan 14 Juli di Nice Prancis Selatan, pembunuhan seorang pendeta di Normandy pada 26 Juli, dan pembunuhan terhadap aparat polisi.
Saat ini, Prancis merupakan negara dengan populasi Muslim terbanyak di Eropa Barat. Diperkirakan, ada lima juta Muslim yang mendiami Prancis. “Diskusi ini begitu penting,” kata Ketua Lembaga Observasi Melawan Islamofobia, Abdallah Zekri.
Tokoh Muslim Prancis itu menyayangkan munculnya aturan-aturan yang mendiskreditkan umat Islam. Dia mengaitkannya dengan gejolak politik Prancis yang pada 2017 nanti akan menggelar pemilihan presiden.
Zekri menegaskan, Islamofobia justru hanya akan menguntungkan kelompok garis keras, semisal ISIS. “Namun, kita mesti mengakhiri perdebatan terkait burkini. Itu (aturan anti-burkini) tak masuk akal,” kata Zekri.
Turut hadir dalam acara ini, antara lain Ketua Dewan Muslim Prancis Anouar Kbibech, mantan menteri dalam negeri Prancis Jean Pierre Chevenement, rektor Masjid Paris, dan Dalil Boubakeur.