REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat terorisme yang juga mantan anggota Negara Islam Indonesia (NII), Al Chaidar, menyarankan pemerintah harus membuat program pencegahan dalam bentuk pendidikan kepada anak-anak sekolah. Program tersebut menurutnya bisa mencegah masuknya paham-paham radikalisme pada anak-anak. Sehingga, sang anak bisa membedakan berbagai perbuatan radikal.
"Harus membuat program pencegahan dalam bentuk pendidikan kepada anak-anak sekolah, supaya mereka tahu pluralisme, multikulturalisme, sehingga tidak bersikap ekslusif seperti itu," kata Al Chaidar saat dihubungi Republika.co.id, Senin (29/8).
Al Chaidar melanjutkan, aparat penegak hukum juga harus mampu menggali informasi terkait radikalisme yang beredar di internet. Sebab, maraknya informasi terkait teror yang tersebar di internet akan sangat mampu menyusupi pemikiran anak-anak yang terbilang masih labil.
"Ini kan karena terinspirasi lewat internet dan kemudian dia ingin melakukan amaliat. Dan banyak itu (informasi radikalisme) yang disebarkan oleh kelompok-kelompok, ISIS terutama. Makanya, informasi terkait teror harus dibatasi di internet," terang Al Chaidar.
Sebelumnya, percobaan bom bunuh diri terjadi di gereja Katolik Statis Santa Yosep di Jl Dr Mansyur, Medan, Ahad (28/8) sekitar pukul 08.30 WIB. Selain itu, pelaku juga melakukan penyerangan terhadap pastor Albert S Pandingan (60) yang sedang berkhotbah di gereja tersebut.
Kapolri Jenderal Tito Karnavian telah menurunkan tim penyidik dari Mabes Polri untuk melakukan penyidikan atas aksi teror bom tersebut. Diketahui, pelaku percobaan bom bunuh diri adalah Ivan Armadi Hasugian yang masih kategori anak-anak karena belum sampai berumur 18 tahun.