REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Jumlah pembunuhan terkait narkoba di Filipina telah mencapai 2,000 jiwa. Hal itu terungkap dalams ebuah laporan yang dirilis Selasa (30/8).
Sejak terpilih dua bulan lalu, Presiden Filipina Rodrigo Duterte telah berjanji untuk menghapus perdagangan narkoba lewat jalur keras.
Kepolisian Nasional Filipina menyatakan, hampir 900 pengedar narkoba dan pengguna tewas dalam operasi polisi sejak 1 Juli hingga 20 Agustus. Rata-rata 20 orang tewas tiap harinya.
Sekretaris komunikasi Duterte, Martin Andanar menyebutkan memberantas narkoba layaknya perang, maka pasti akan ada korban jiwa. "Beberapa orang di luar negeri harus memahami mengapa banyak orang yang terbunuh dalam kampanye anti-narkoba ini. Mereka harus memahami, ini adalah perang dan pasti ada korban," kata Andanar.
Duterte menerima banyak dukungan rakyat atas kebijakannya. Tapi jumlah korban terbunuh sejak kemenangannya telah membuat khawatir kelompok-kelompok hak asasi dunia serta menimbulkan kecemasan dari Amerika Serikat, sekutu dekat Manila.
Baca juga, Sisi Kelam Pemberantasan Narkoba Duterte, Lahirnya Petrus-Petrus Baru.
Pemerintah AS mengatakan pada Senin (29/8), Presiden AS Barack Obama akan bertemu Duterte di Laos pada 6 September mendatang. Pertemuan itu rencananya akan membicarakan masalah keamanan serta hak asasi manusia (HAM).
Sebelumnya, bidang HAM Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) telah mendesak pemerintah Duterte untuk berhenti menggunakan kekerasan dalam memerangi kejahatan narkoba di Filipina. Tapi desakan tersebut ditanggapi dingin oleh Duterte yang malah mengancam akan keluar dari PBB.