Rabu 31 Aug 2016 19:16 WIB

Walhi: Setop Alih Fungsi dan Reklamasi Rawa di Palembang

Rep: Maspril Aries/ Red: Andi Nur Aminah
Penimbunan Rawa di Palembang
Foto: Republika/Maspril Aries
Penimbunan Rawa di Palembang

REPUBLIKA.CO.ID, PALEMBANG -- Setelah Wali Kota Palembang melalui Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) menghentikan penimbunan rawa yang memicu banjir pada Kelurahan Bukit Lama, Kecamatan Ilir Barat (IB) I, kini giliran Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatra Selatan (Sumsel) mendesak Wali Kota Palembang menghentikan alih fungsi dan reklamasi rawa di ibu kota Provinsi Sumsel tersebut. Dino Mathius Manager Desk Disaster Walhi Sumsel menjelaskan, banjir yang melanda pemukiman warga Bukit Lama sejak sebelum 9 Agustus lalu masih belum sepenuhnya surut.

“Banjir yang melanda permukiman warga Bukit Lama tersebut disebabkan penimbunan rawa oleh pengembang PT Sultan Syalwa Bersaudara. Banjir kali ini terjadi pada musim kemarau pascapenimbunan. Saat hujan sempat turun pada 20 Agustus lalu, pemukiman warga tergenang air yang tidak bisa mengalir,” kata Dino, Rabu (31/8).

Menurut Dino Mathius, Walhi Sumsel mendata sejak pesatnya pembangunan di Palembang dalam satu dekade terakhir memang tidak lagi memperhatikan rona lingkungan hidup. “Padahal Palembang dalam sejarah topografinya adalah kota yang di kelilingi oleh air, dan terendam air atau rawa. Bahkan lebih dari 50 persennya adalah wilayah rawa,” ujarnya.

Sementara itu menurut Direktur Eksekutif Walhi Sumsel Hadi Jatmiko, Walhi Sumsel memperkirakan wilayah rawa di Sumsel khususnya di Palembang saat ini sudah berkurang lebih dari 30 persen. “Rawa-rawa di Palembang akan terus terancam melihat banyaknya rencana pembangunan yang terkesan asal-asalan. Banjir yang dialami warga Bukit Lama merupakan bukti, bahwa pembangunan yang tidak memperhatikan kondisi lingkungan telah berdampak nyata pada kerugian yang dialami masyarakat dan lingkungan hidup di sekitaranya,” kata Hadi Jatmiko.

Dengan terjadinya penimbunan rawa yang menyebabkan terjadinya banjir menurut Dino menunjukkan fakta pengembang atau kontraktor sudah jelas melanggar hukum ada perbuatan melawan hukum. "Antara lain tidak memiliki izin lingkungan sesuai amanat UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta tidak memperhatikan dampak sosial dan budaya yang disebabkan oleh pembangunan tersebut," ujarnya.

Direktur Eksekutif  Walhi Hadi Jatmiko menegaskan, Pemerintah Kota Palembang tidak bisa memaksakan dirinya untuk terus membangun, sementara kerusakan lingkungan hidup terus terjadi. Paradigmanya pun harus diubah, tidak lagi menggunakan pendekatan konvensional. "Pembangunan hanya melihat dari aspek pendapatan ekonomi. Sebagai kota tertua di Indonesia, Palembang harus menjadi kota yang mengedepankan lingkungan hidup dan hak-hak masyarakat," ujarnya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement