Warisan Korupsi dan Sandiwara Secangkir Kopi Ngeri-Ngeri Sedap
oleh: Erie Sudewo, Pendiri Dompet Duafa
Sambil mengaduk secangkir kopi di suatu sore, Ahyudin, Komandan ACT (Aksi Cepat Tanggap), bilang: “Mas, hidup ini tak lain cuma mengelola isu”. Sambil coba memaknai kata-kata itu, saya pandangi kopi yang tengah dia aduk. Sendok disisih lantas sruuup! Kopi pun diseruput. Aaahhh... nikmatnya. Kopi Gayo, Kopi Arabika terbaik dunia ini memang menggoda.
Hidup memang seperti kopi. Teraduk-aduk. Setop mengaduk, air kopi berguncang. Bukankah hidup saya juga begitu. Puluhan tahun bina rumah tangga, selama itu tak pernah sepi dari guncangan. Sendok diangkat, putaran kopi reda. Masalah diangkat, hidup mustinya berangsur tentram. Sendok masuk lagi, alamat hidup kembali “kisahkan tragedi”.
Tapi, bagaimanapun, warna kopi pasti hitamnya. Jelaganya tetap pekat. “Kopi itu dari sono-nya hitam. Tak ada white coffee, Pak Erie. Itu bohong!” Kata Madi, ahli kopi dari Aceh. Mahdi tak sembarang bicara. Dia orang langka. Punya sertifikat cicip-mencicipi kopi. Yang jumlahnya tak sampai lima di Indonesia.
Kopi selamanya hitam. Kopi dibilang putih, itu kebohongan ruang sebelah. Bagi saya, kok ya pas-pas-nya gambarkan hidup saya. Memang balada hidup saya lebih banyak gulitanya. Tapi seperti sebagian yang lain, saya termasuk yang katakan: “Baik-baik saja kok”. Apakah saya masih bersandiwara pada anak istri? Ssstttt. Di luar Allah, memang cuma saya yang paham.
Entah apa sekarang saya masih berjingkat di “gelap-gelap terang”. Sedang lidah ini enteng saja katakan sudah taubat. Anak istri mana yang tak senang. Tapi begitu ingat lagu “Lika Liku Laki-Laki”-nya Koes Plus, deeessshhhh ... hati ini berdesir. Kelu digugat nurani.