Sabtu 03 Sep 2016 10:10 WIB

Vonis Ariesman Widjaja Dinilai Terlalu Ringan

Rep: Qommarria Rostanti/ Red: Andi Nur Aminah
Persidangan mantan Presiden Direktur Agung Podomoro Land, Ariesman Widjaja
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Persidangan mantan Presiden Direktur Agung Podomoro Land, Ariesman Widjaja

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta kecewa terhadap putusan pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang menjatuhkan vonis tiga tahun kepada mantan Presiden Direktur Agung Podomoro Land  Ariesman Widjaja. Padahal ia terbukti melanggar Pasal 5 ayat 1 a UU Tipikor.

"Koalisi menilai vonis yang dijatuhkan oleh majelis hakim sangat ringan. Seharusnya hakim menjatuhkan hukuman penjara dan denda maksimal sesuai pasal 5 ayat 1 a selama 5 tahun dan Rp 250 juta karena sifat korupsi yang dilakukan Ariesman Widjaja adalah sebuah grand corruption," ujar pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Tigor Hutapea, baru-baru ini.

Grand corruption adalah tindak korupsi yang merampas hak asasi manusia (HAM). Tigor menyebut setidaknya terdapat lima indikator grand corruption yang dilakukan Ariesman. Pertama, dilakukan oleh seorang pimpinan korporasi terbesar di Indonesia yakni PT Agung Podomoro Land (APL) TBK. Ariesman juga tercatat sebagai direktur utama PT Jaladri Kartika Paksi (Pulau I) dan menjadi Kuasa PT Jakarta Propertindo (Pulau F).

Kedua, bertujuan hanya untuk menguntungkan korporasi dari proyek reklamasi. Ketiga, dilakukan untuk memengaruhi pembuatan kebijakan hukum dalam bentuk Perda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan Perda Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta.

Keempat, raperda tersebut bermasalah secara hukum karena bermotif melegalkan dan memuluskan proyek reklamasi yang bermasalah sedari awal. Karena perizinan proyek reklamasi teluk Jakarta terbit tanpa memiliki  peraturan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K).

Kelima, suap untuk melegalkan reklamasi yang menghancurkan lingkungan, menghilangkan kehidupan nelayan dan masyarakat pesisir, perempuan dan laki-laki yang tidak dapat dipulihkan. "Ini merupakan bentuk kejahatan korporasi yang melanggar hak-hak konstitusional warga negara," kata Tigor.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement