REPUBLIKA.CO.ID, DAVAO -- Presiden Filipina Rodrigo Duterte menyatakan negaranya tanpa hukum (lawless state). Pernyataan ini dilontarkan Rodrigo setelah ada dugaan pelaku pemboman yang menewaskan 14 orang dan melukai 70 lainnya di Davao dilakukan oleh pemberontak Abu Sayyaf.
Ungkapan 'negara tanpa hukum' juga pernah dilontarkan oleh Presiden Gloria Macapagal-Arroyo pada tahun 2003. Duterte melihat langsung tempat kejadian pemboman yang terjadi pada Jumat (2/9) kemarin di pasar malam Kota Davao. Duterte menyatakan deklarasi tersebut akan mencakup wilayah Mindanao dan tidak dihitung sebagai kondisi darurat militer.
Deklarasi ini untuk meningkatkan masuknya pasukan militer ke pusat kota untuk membantu polisi membuat pos pemeriksaan dan meningkatan frekuensi patroli.
"Saat ini adalah masa yang luar biasa dan saya harus mengambil wewenang untuk mengizinkan pasukan keamanan untuk mencari keseluruh negara ini," kata Duterte seperti yang dilansir dari laman Fox News.
Juru bicara Abu Sayyaf, Abu Rami, mengklaim bertanggungjawab atas ledakan yang terjadi di dekat Universitas Jesuit Ateneo de Davao. Duterte mengatakan penyelidik saat ini juga mencari pelaku lain seperti sindikat narkoba yang menjadi targetnya sejak terpilih.
"Kami sedang berusaha untuk mengatasi krisis sekarang. Ada krisis di negeri ini yang melibatkan obat terlarang, pembunuhan luar biasa dan lingkungan kekerasan tanpa hukum," kata Duterte.
Serangan ini terjadi di saat militer Filipina sedang melancarkan serangan intensif ke markas ektrimis Abu Sayyaf di provinsi Sulu Selatan setelah para pemberontak memenggal kepala seorang warga yang mereka culik. Kelompok Abu Sayyaf mengancam akan melancarkan serangan setelah pasukan Filipina menewaskan 30 orang pasukan Abu Sayyaf.
Beberapa komandan Abu Sayyaf telah bersumpah setia kepada ISIS. Militer Filipina mengatakan belum ada bukti kolaborasi kedua kelompok teroris tersebut. Menurut militer sumpah setia tersebut sebagai upaya kelompok Abu Sayyaf meningkatkan citra mereka setelah bertahun-tahun kalah bertempur.
Meskipun Filipina dalam keadaan darurat, Duterte mengatakan ia akan melanjutkan lawatan kenegaraan ke Brunei, Laos dan Indonesia yang dimulai pada Ahad (4/9) ini. Di Asian Summit yang diadakan di Ibukota Laos, Vientiante, sambil bercanda Duterte mengatakan akan bertemu pemimpin negara termasuk Presiden Amerika Serikat Barack Obama dan Presiden Rusia Vladimir Putin.
Polisi mengatakan saksi mata melaporkan adanya bentrokan dan beberapa lainnya mengatakan ledakan gas dari panti pijat dan warung makan. Sementara saksi mata lainnya menyatakan melihat adanya ledakan.
Polisi segera membuat pos pemeriksaan di jalur-jalur utama arah Davao, tol dengan panjang 980 kilometer di selatan Manila. Polisi juga menyatakan Ibukota Manila dalam kondisi penuh waspada.
Dalam siaran televisi terlihat banyak jenazah yang terbaring ditengah kursi-kursi plastik. Jenazah-jenazah tersebut tersebar dilokasi asal ledakan.
Juru bicara Dewan Keamanan Amerika Serikat Ned Price mengatakan pihak berwenang lokal di Filipina terus menyelidiki penyebab ledakan, dan Amerika Serikat siap untuk memberikan bantuan penyelidikan.
Prince mengatakan Obama akan memberi ucapan belasungkawa pribadi kepada Duterte ketika kedua pemimpin negara tersebut bertemu di sela-sela pertemuan Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) dengan negara-negara barat di Laos pekan depan.