REPUBLIKA.CO.ID, ROSEMONT -– Sejak Jumat (2/9) lalu, Masyarakat Islam Amerika Utara mulai menggelar pertemuan tiga hari di Illinois, Amerika Serikat (AS). Dalam kesempatan itu, pakar hubungan Islam-Amerika, Altaf Husain, mengeluhkan kondisi perpolitikan AS belakangan ini.
Misalnya, pada 13 Agustus lalu, seorang imam masjid dan seorang jamaahnya di Queens, AS, ditembak mati. Kemudian, di Chicago, sejumlah Muslimah mengalami penyerangan ketika hendak memasuki kendaraan. Yang paling kentara, salah seorang calon presiden AS secara terang-terangan berkampanye melarang Muslim memasuki wilayah Negeri Paman Sam.
“Dalam iklim politik saat ini, kita melihat sikap fanatik yang coba dianggap lumrah,” ungkap Altaf Husain yang juga pengajar di Howard University, seperti dikutip The New York Times, Ahad (4/9).
Kendati begitu, Husain menyambut baik pemerintahan AS di bawah Presiden Obama yang berupaya mempererat hubungan dengan Islam.
Sebagai contoh, dalam pertemuan terbesar kaum Muslim di Amerika Utara ini, Menteri Keamanan Dalam Negeri AS, Jeh Johnson hadir sebagai pembicara. Jeh menegaskan, umat Islam merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sejarah Amerika.
“Mendengarkan mereka yang menebar ketakutan, kecurigaan, dan intoleransi (terhadap Muslim) begitu membuat frustrasi. Mereka yang tak belajar dari sejarah akan mengulangi kesalahan yang sama,” ucap Jeh Johnson.
Tidak hanya berpidato, menteri tersebut juga berbincang dengan sejumlah tokoh Muslim AS. Salah satu isu yang mengemuka, upaya kementerian untuk menumpas ekstremisme di AS.
Sejumlah tokoh Muslim mengeluhkan, fokus pengentasan ekstremisme tampak hanya pada komunitas Islam. Padahal, masih ada komunitas-komunitas lain yang menunjukkan indikasi ekstremisme. Misalnya, kelompok nasionalis kulit putih yang tak jarang melancarkan aksi kekerasan di tingkat lokal.
Menanggapi itu, George Selim yang mengepalai Kantor Kerjasama Komunitas, Departemen Keamanan Dalam Negeri, menukasnya. “Kami berfokus pada semua bentuk ekstremisme,” ujar Selim.