REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengatakan, Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) tidak terjadi secara serentak melainkan bertahap mulai awal tahun ini. Diterbitkannya SP3, ia katakan, membuktikan perusahaan tidak bersalah. Karhutla terjadi murni karena perilaku masyarakat yang membakar di sekitar area lahan perusahan.
"Jadi, terbukti pembakarnya dari masyarakat di luar peta kerja korporasi," katanya dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi III DPR di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Senin (5/9).
Tito menjelaskan, di Riau ada 15 kasus karhutla yang dihentikan penyidikan sejak Januari hingga Mei 2016 secara bertahap. Ia menambahkan, masih banyak masyarakat yang tinggal di lahan konsensi milik korporasi. Berdasarkan ahli, lanjutnya, karhutla bukan karena kelalaian korporasi.
"Areal ini dulunya milik perusahaan, tapi izin sudah dicabut pemerintah. Kalau pun terbakar bukan di korporasi," lanjutnya.
Tidak hanya di Riau, sejumlah kasus karhutla di daerah lain seperti Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat juga diberhentikan kasusnya lantaran tidak ada unsur kelalaian yang dilakukan korporasi mengingat korporasi dianggap telah memenuhi standar keamanan yang sesuai. Karhutla, ia katakan, berasal dari luar area peta kerja korporasi yang dilakukan oknum masyarakat dan merembet ke area peta kerja korporasi.
"Enggak fair juga kalau kita lakukan pidana ke perusahaan oleh orang tidak dikenal diluar. Di Riau ada yang terbakar di luar area konsesi, masuk dan membakar kebun sawit yang sudah produktif malah terbakar," katanya menambahkan.