REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Metro Jaya menangkap pelaku penjual obat palsu di sebuah toko di Pasar Pramuka, Jakarta Timur. Selama ini, pelaku berinisial M (41) itu menjalankan aksinya dengan cara mengubah tanggal kadaluarsa yang tercetak di bungkus obat.
Direskrimsus Polda Metro Jaya, Kombes Fadil Imran mengatakan hanya dengan bermodalkan aseton atau penghapus cat kuku dan cotton bud, M bisa dengan mudah menghapus tanggal lalu mencetaknya dengan angka baru.
"Biasanya tahunnya yang dia hapus. Misalnya, harusnya Maret 2015 jadi Maret 2018," ujarnya di Mapolda Metro Jaya, Senin (5/9).
Setelah itu, pelaku M kemudian membubuhkan tahun yang baru dengan sebuah mesin pencetak, sehingga aecara kasat mata tidak terlihat kejanggalan dari obat-obat yang telah diganti tanggalnya terasebut.
Ia menyimpan obat-obatan yang sudah kedaluwarsa di rumahnya di Jalan Kayu Manis, Utan Kayu, Jakarta Timur, sebelum menjualnya di toko. Meski mengaku hanya memalsukan tanggal kedaluwarsa obat yang ia perdagangkan, polisi menduga kuat M juga menerima obat kedaluwarsa dari pihak lain.
Selama setahun terakhir, M telah mengantongi keuntungan sekitar Rp 96 juta dari hasil penjualannya. Ia menjual obat kadaluarsa tersebut baik dalam bentuk satuan atau jumlah banyak kepada setiap pembelinya.
"Dari pengakuan tersangka M bahwa ia sudah menjadi penjual obat di Pasar Pramuka sejak tahun 2006," katanya.
Saat polisi menggeledah rumah dan toko milik M tersebut pada Kamis (1/9) kemadin, polisi menyita 1.963 strip obat kedaluwarsa, 122 strip obat kedaluwarsa yang diganti tanggalnya, 49 botol obat cair, dan 24 karung obat kedaluwarsa berisi ribuan butir.
Akibata perbuatannya, M dijerat Pasal 196 Jo Pasal 98 ayat 2 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dengan ancaman penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar.
Ia juga dikenakan Pasal 62 Jo Pasal 8 UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pelaku Usaha yang Melanggar Ketentuan dengan ancaman penjara paling lama lima tahun, atau pidana denda paling banyak Rp 2 miliar.