REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Daerah DKI Jakarta akhirnya urung melakukan penertiban terhadap struktur bangunan mushala di Pulau Pari, Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan, Senin (5/9). Salah satu warga Pulau Pari, Salbi menuturkan, rencana penggusuran tersebut batal dilakukan aparat menyusul adanya penolakan keras dari warga setempat.
"Tadi siang, mushala yang berada di dekat Pantai Pasir Perawan, Pulau Pari, mau dibongkar sama Satpol PP (Satuan Polisi Pamong Praja). Tapi, kami warga pulau terus mempertahankannya," ujar Salbi kepada Republika, Senin (5/9).
Saibi mengatakan, Camat Kepulauan Seribu Selatan dan Lurah Pulau Pari ingin menertibkan bangunan mushala di Pantai Pasir Perawan dengan alasan, lokasi pembangunan tempat ibadah itu berada di atas lahan sengketa antara warga dan pihak swasta (PT Bumi Pari Griya Nusa).
"Lurah bilang, lahan di tempat mushala itu berada sekarang adalah tanah milik PT (swasta). Padahal, area pantai seharusnya kan enggak boleh dimiliki siapa pun, karena itu area publik," tuturnya.
Salbi mengungkapkan, selama ini PT Bumi Pari Griya Nusa selalu mengklaim area Pantai Pasir Perawan sebagai tanah milik mereka. Akan tetapi, ketika warga meminta perusahaan itu menunjukkan bukti legalitas kepemilikan atas lahan tersebut, mereka selalu menghindar.
"Perusahaan itu bilang mereka punya sertifikat tanah, tapi sampai sekarang enggak pernah ditunjukin pada kami," ucap Salbi.
Yang lebih aneh lagi, kata dia, beberapa bulan lalu PT Bumi Pari Griya Nusa juga pernah mengklaim seluruh tanah di Pulau Pari sebagai milik mereka. Menurut Salbi, klaim tersebut jelas tidak masuk akal karena warga setempat telah menghuni pulau itu selama berpuluh-puluh tahun. Selain itu, di pulau itu juga terdapat tempat penelitian dan kawasan konservasi terumbu karang yang dikelola Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
"Jika PT itu mengklaim 100 persen tanah di sini punya mereka, itu artinya semua sarana umum yang ada di pulau ini seperti masjid dan sekolah juga milik mereka dong. Padahal, masjid di Pulau Pari ini ada sertifikat tanahnya. Terus, apa fasilitas LIPI mau mereka klaim juga? Ini sudah gila namanya," kata Salbi.
Dia menilai Pemerintah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu cenderung menunjukkan keberpihakannya kepada swasta dalam menyikapi masalah sengketa lahan tersebut. Dia pun menduga, ada mafia tanah yang bermain di balik kasus ini. "Pemerintah sekarang benar-benar bobrok. Selalu warga yang //diobok-obok//. Sementara PT itu sendiri enggak tersentuh sedikit pun. Pernah enggak pemerintah mengecek keabsahan sertifikat mereka, apa cacat hukum atau enggak?" ucapnya dengan nada kesal.