Selasa 06 Sep 2016 07:04 WIB

Ini Alasan Ahok Mengapa 'Ngotot' Kontribusi Tambahan 15 Persen

Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) saat menghadiri sidang sebagai saksi kasus suap Raperda Reklamasi atas terdakwa mantan anggota DPRD DKI Mohamad Sanusi di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (5/9).
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) saat menghadiri sidang sebagai saksi kasus suap Raperda Reklamasi atas terdakwa mantan anggota DPRD DKI Mohamad Sanusi di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (5/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengungkapkan alasannya mengapa ia ngotot agar besaran kontribusi tambahan adalah 15 persen dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dari total lahan yang dapat dijual dalam Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara (Pantura) Jakarta (RTRKSP).

"Bila 15 persen dikali NJOP dikali luas lahan yang dapat dijual dan dijual dalam waktu selama 10 tahun maka DKI dapat memperoleh Rp158 triliun atau kalau langsung dapat dijual semua pulau reklamasi dapat Rp 48 triliun, uang itu bisa untuk membangun Jakarta, bikin pompa, tanggul, MRT (mass rapid transportation)," kata Ahok saat menjadi saksi di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (5/9).

Ahok menjadi saksi untuk mantan ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Mohamad Sanusi yang didakwa menerima suap Rp2 miliar dari Direktur Utama PT Agung Podomoro Land Ariesman Widjaja terkait pembahasan RTRKSP dan melakukan pencucian uang sebesar Rp 45,28 miliar.

Uang suap itu digunakan agar Sanusi mengubah isi raperda mengenai kontribusi tambahan yang terdapat pada pasal 116 ayat (6) mengenai kewajiban pengembang yang terdiri atas (a) kewajiban, (b) kontribusi, (c) tambahan kontribusi; dan pasal 116 ayat (11) mengenai tambahan kontribusi dihitung sebesar 15 persen dari NJOP total lahan yang dapat dijual tahun tambahan kontribusi tersebut dikenakan.

"Tapi ini Pak Taufik (ketua Badan Legislasi Daerah) malah mau mengubah kontribusi tambahan diambil dari kontribusi yang lima persen, harusnya dalam raperda itu ada kewajiban, kontribusi dan kontribusi tambahan kalau Pak Taufik hanya ada kewajiban ditambah kontribusi saja padahal untuk membereskan daratan, banjir dan lainnya bukan dari kontribusi tapi kontribusi tambahan, kalau itu tiba-tiba dihilangkan menurut saya adalah tindak pidana korupsi," tegas Ahok.

Dalam dakwaan disebutkan pada 4 Maret 2016, Sanusi memanggil Kepala Bagian Perundang-Undangan Sekretariat DPRD DKI Jakarta Heru Wiyanto dan menyerahkan tulisan tangan mengenai perubahan penejlasan pasal 110 ayat (5) huruf c tentang kontribusi tambahan kepada Heru Wiyanto untuk dicantumkan dalam tabel masukan rapat Balegda.

Ahok yang membaca kertas itu menyatakan penolakan dan kemudian menuliskan disposisi "Gila kalau seperti ini bisa pidana korupsi" selanjutnya memerintahkan Sekretaris Daerah(Sekda) Saefullah untuk menyerahkan disposisi ke Mohamad Taufik yang juga kakak Sanusi.

"Kalau kepala daerah tukar guling secara umum biasanya langsung masuk penjara, ini enggak bener. Harusnya di pulau tetap ada lima persen bisa bangun rumah susun di sana, semua pegawai, supir, pembantu, nelayan tetap tinggal di pulau karena orang miskin enggak mungkin beli tanah di pulau harganya sudah Rp 25 juta lalu 15 persen hilang dan jelas ini bagi saya setiap kerugian untuk negara adalah tindak pidana korupsi," tambah Ahok.

Menurut Ahok, ada dasar hukum terhadap tambahan kontribusi tersebut yaitu Keppres (Keputusan Presiden) No 52 tahun 1995 yang mengatur mengatur ruang daratan dan pantai, perda No 8 tahun 1995 dan perjanjian antara Pemda dengan PT Manggala Karya Yudha (MKY) yang juga dimiliki salah satu putri mantan Presiden Soeharto pada 1997.

"Nanti pengenaan kontribusi tambahan tergantung perjanjian, saya sampaikan ke pengembang mau di depan atau belakang, kalau anda bayar kami lebih lama silakan saja akan lebih rugi karena menggunakan faktor kali NJOP di tahun berikutnya itu yang mendorong mereka sediakan barang lebih cepat. Kami nilai menggunakan penilai resmi misalnya mereka sebut sudah mendirikan rusun harga Rp 100 miliar tapi kalau penilai mengatakan barang itu hanya Rp60 miliar maka kontribusi tambahan hanya Rp 60 miliar, ini sistem agar tidak terjadi kecurangan kepada Pemda DKI Jakarta," jelas Ahok.

Dalam perkara ini Sanusi didakwakan pasal 12 huruf a atau pasal 11 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur tentang pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp 1 miliar.

Sedangkan dalam dakwaan kedua, didakwa menyamarkan harta kekayaan sejumlah Rp 45,28 miliar yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi selaku anggota Komisi D periode 2009-2014 dan 2014-2019 dengan dakwaan pasal 3 UU No 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP mengenai tindak pidana pencucian uang aktif dengan ancaman penjara maksimal 20 tahun dan denda Rp 10 miliar.

sumber : Antara
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement