REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengajuan gugatan sekelompok akademisi ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang berharap agar lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) dimasukkan dalam delik pidana dinilai salah alamat. Pasalnya, MK adalah negatif legislator yang tidak memiliki kewenangan mengubah peraturan perundang-undangan.
"Aspirasi sejumlah akademisi tidak tepat sasaran. MK tidak bisa mengubah atau menambah norma kecuali kalau itu inkonstitusional," ujar pengajar Hukum Tata Negara Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Ismail Hasani kepada Republika.co.id, Selasa (6/9).
Gugatan tersebut adalah proses keliru. Harusnya, kata dia, permohonan tersebut diajukan ke Presiden dan DPR. "Proses ke Presiden dan DPR yang memakan waktu, itulah bagian dari demokrasi," kata Direktur Riset Setara Institute ini.
Perluasan atau penambahan norma, kata dia, bukan berada di ranah MK. Proses tersebut hanya akan menjadi preseden buruk bagi proses demokrasi di Indonesia. Ismail setuju apabila tindak pencabulan sesama jenis oleh orang dewasa ke anak merupakan tindak kejahatan. Namun dalam konteks LGBT, hal tersebut haruslah disampaikan ke 'alamat' yang sesuai.
Sekelompok akademisi melayangkan gugatan ke MK terkait LGBT. Mereka meminta LGBT dimasukkan ke dalam delik pidana dan bagian dari kejahatan. Untuk memuluskan niatnya, mereka meminta MK menafsir ulang Pasal 292 KUHP.
Saat ini, dalam Pasal 292 KUHP disebutkan bahwa orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul terhadap orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun. Pasal tersebut hanya melarang tindakan cabul sesama jenis dari dewasa terhadap anak-anak.
Artinya, apalabila tindakan cabul sesama jenis tersebut dilakukan antarorang dewasa ataupun antaranak-anak dianggap legal dan boleh dilakukan.