Rabu 07 Sep 2016 00:47 WIB

RPP JPH Masih Bahas Tahapan Jenis Produk Bersertifikat Halal

Rep: Fuji Pratiwi/ Red: Agus Yulianto
label halal
Foto: Tahta Aidila/Republika
label halal

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Rancangan peraturan pemerintah tentang jaminan produk halal (RPP JPH) masih terus dibahas. Tahapan jenis produk bersertifikat halal masih jadi perhatian pemangku kepentingan.

Kasubdit Produk Halal Direktorat Jenderal Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Kementerian Agama Siti Aminah mengatakan, pada pasal 67 Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH), pasal 1 disebutkan, kewajiban bersertifikat halal bagi produk yang beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia mulai berlaku lima tahun terhitung sejak undang-undang ini diundangkan. Di pasal 2 disebut sebelum kewajiban bersertifikat halal sebagaimana dimaksud pada ayat satu berlaku, jenis produk yang bersertifikat halal diatur secara bertahap.

Kata 'bertahap' pada pasal 2 ayat 67 tersebut dianggap pihak Kemenag merupakan hal yang berkaitan dengan waktu. Pada draf RPP JPH lama, di pasal 3 disebutkan adanya tahapan kewajiban berdasarkan waktu. Di rancangan itu disebutkan, setelah RPP disahkan pada 17 Oktober 2016, maka pada 1 November 2016 produk makanan dan minuman wajib bersertifikat halal. Kemudian, pada tahap kedua yakni 1 November 2017 produk yang wajib bersertifikat halal adalah kosemtik dan barang gunaan, serta pada 1 November 2018 produk obat-obatan wajib bersertifikat halal.

Draf ini pernah disampaikan kepada pelaku usaha dalam dan luar negeri. "Tapi, mereka jadi bingung dan bertanya mengapa wajib sertifikasi sejak 2016, sementara UU JPH baru mewajibkan pada 2019. Saat itu, kami sampaikan ini tidak wajib, tapi dalam rangka persiapan jelang 2019," ungkap Aminah, Selasa (6/9).

Perwakilan Kemenag kemudian diundang Kementerian Kesehatan dan diberi masukan agar kewajiban sertifikasi halal dalam rangka perisiapan menuju kewajiban pada 2019 tidak berdasarkan waktu, tapi jenis produk. Maka, tahap pertama kewajiban sertifikasi halal adalan produk makanan dan minuman, tahap dua komsetik dan barang gunaan, serta tahap ke tiga obat-obatan.

Di draf baru, pasal tiga mengalami peruabaha. Tahapan kewajiban sertifikasi halal dibuat berdasarkan produk. Poin ini, kata Aminah, yang lama dibahas. "Semua pihak sepakat kalau 2019 wajib sertifikasi. Yang sempat dikhawatirkan pelaku usaha adalah penyebutan waktu di draf RPP JPH awal. Tapi sekarang jenis produk," ujarnya.

Hal lainnya adalah tentang produk yang belum ditemukan bahan baku halal. Ada permintaan dari Kementerian Kesehatan untuk mengecualikan produk obat-obatan dalam kewajiban sertifikasi halal sebab hampir 90 persen bahan baku obat-obatan masih bersumber dari bahan non halal. Tapi, ini melawan undang-undang. Pada poin ini pula pembahasan draf RPP JPH jadi cukup panjang.

Pertimbangan Kementerian Kesehatan ini akan diakomodir, tapi tidak dalam bentuk pengecualian. Karena masih perlu dibahas, poin ini masih ditunda. Rencananya, poin ini akan masuk ke bagian peraturan peralihan. Kemenag sedang mencari jalan yang tidak melanggar undang-undang.

"Kami cari norma yang pas, jadi menghilangkan pengecualian. Produk obat-obatan yang belum bersetifikat halal memang butuh waktu, kami paham. Obat penting dan bisa dipahami urgensinya. Ajaran Islam membolehkan penggunaan barang non halal kalau memang darurat, tapi kan tidak terus menerus, ada batas waktunya," tutur Aminah.

Pembahasan sertifikasi obat sendiri masih akan berlanjut. Karena itu, Kemenag tidak bisa memastikan RPP JPH ini bisa segera rampung karena pasal-pasal awal saja masih perlu bahasan di sana sini. Aminah menyatakan, pihaknya akan mengupayakan semaksimal mungkin.

Di sisi lain, dengar pendapat draf RPP JPH ini juga cukup membuat para pelaku usaha akhirnya tahu ada kewajiban sertifikasi halal. Sejak draf pertama RPP JPH disampaikan kepada publik, banyak pengusaha luar negeri yang bertanya. Bahkan, pihak kedutaan besar yang jarang mengontak Kemenag, jadi mulai berkomunikasi dan membawa para pengusaha mereka.

Pada 17 Oktober 2014 lalu, atas persetujuan DPR RI, pemerintah menetapak UU JPH. Penyelenggaraan JPH diharapakan memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian ketersediaan produk halal bagi masyarakat dan meningkatkan nilai tambah bagi pelaku usaha.

Untuk melasanakan penyelenggaraan JPH, dibentuk Badan Penyelenggara Jamina Produk halal (BPJPH) yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada menteri. BPJPH sendiri harus dibentuk paling lambat tiga tahun setelah UU JPH diundangkan. Namun, peraturan pelaksana UU JPH harus ditetapkan paling lama dua tahun sejak UU JPH disahkan.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement