Rabu 07 Sep 2016 15:08 WIB

Pakar Australia Sebut Swasembada Beras Indonesia Sulit Dicapai

Red: Ani Nursalikah
Pakar Indonesia dari National University of Singapore Associate Professor Jamie Davidson menyatakan swasembada beras di Indonesia saat ini sudah sangat sulit untuk dicapai.
Foto: Republika/ Edi Yusuf
Pakar Indonesia dari National University of Singapore Associate Professor Jamie Davidson menyatakan swasembada beras di Indonesia saat ini sudah sangat sulit untuk dicapai.

REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Pakar Indonesia dari National University of Singapore Associate Professor Jamie Davidson menyatakan swasembada beras di Indonesia saat ini sudah sangat sulit untuk dicapai. Ada tiga faktor utama yang menyebabkan hal itu tidak lagi semudah di era 1984/185 ketika Pemerintahan Orde Baru berhasil mencapai swasembada beras.

Hal itu dikemukakan Prof. Davidson dalam diskusi terbatas di kampus Monash University di Melbourne, Senin (5/9). Dia memaparkan pemikirannya dengan tema Rice Self-sufficiency in Indonesia: Then and Now dan dihadiri para peminat masalah Indonesia. "Ketiga faktor itu bisa dilihat dari segi teknis pertanian, dari segi ekonomi, serta dari segi politik," ujar Prof. Davidson seperti dilaporkan wartawan ABC yang menghadiri diskusi tersebut.

Dikatakan, secara teknis, saat ini tak ada lagi revolusi hijau sebagaimana yang terjadi di tahun 1980an, juga telah terjadi perubahan demografi, dan faktor perubahan iklim.

Kemudian secara ekonomi, program swasembada beras sangat mahal biayanya dan situasinya juga telah berbeda dibandingkan tahun 1980-an ketika Indonesia memiliki banyak sumber pendanaan dari booming minyak serta meneirma berbagai bantuan internasional untuk pangan. Kini Indonesia mengalami hambatan anggaran yang sangat terbatas untuk mendanai program swasembada beras.

Pakar Indonesia dari National University of Singapore Prof. Jamie Davidson.

"Terakhir, situasi politik telah berubah khususnya di arena internasional namun juga di dalam negeri," jelas Davidson.

Namun meskipun sebenarnya sangat sulit untuk mencapai swasembada beras, keinginan untuk itu tetap kuat di Indonesia. "Bahkan dengan melihat konteks lebih luas, dengan tingkat pendapatan yang kian meningkat dan industrialisasi, mengapa Indonesia masih perlu berswasembada beras?" ujarnya.

Menurut Prof Davidson, hal itu disebabkan sejumlah faktor termasuk karena hal itu pernah terjadi di masa lalu. "Namun alasan lainnya adalah, pertama, terjadinya krisis beras di tahun 2008 yang mengejutkan kawasan bukan hanya di Indonesia," katanya.

Dikatakan, terdapat persamaan di kalangan pemerintah kawasan Asia Tenggara dalam bereaksi terhadap krisis beras tersebut, yaitu dengan menguatnya keinginan untuk menjaga ketahanan pangan. "Selain itu di Indonesia juga menguat semangat nasionalisme ekonomi untuk melindungi kalangan petani beras," jelasnya.

Ketiga, terjadinya demokratisasi pasca Soeharto dimana sektor perberasan dipandang sebagai sumber lapangan kerja utama bagi penduduk miskin sehingga perlu mendapatkan perlindungan. "Dan tentu saja isu ini juga digunakan saat bersaing dalam pemilu, yaitu siapa yang tampaknya lebih bisa melindungi petani beras," katanya.

Prof Davidson menambahkan, dalam risetnya dia juga mewawancari sejumlah narasumber dari Badan Ketahanan Pangan di tahun 2016 yang menyatakan bahwa tidak ada negara lain yang bisa mendikte Indonesia terkait upayanya mencapai swasembada beras. "Mereka menyatakan Indonesia bisa melakukan hal itu sendiri," ujarnya.

Alasan lain yang dikemukakan adalah bahwa berbeda dengan beras, meskipun anda memiliki banyak uang, anda tak bisa memakan uang tersebut. "Juga dikatakan keberhasilan Soeharto bisa diulangi dengan segala biaya," katanya.

Menurut Davidson, di tengah berbagai situasi yang mendukung, pemerintahan Soeharto pun sebenarnya "sangat lambat" dalam mencapai swasembada beras, yaitu butuh waktu 17 tahun. Dan penghargaan yang diterima di FAO 1984 itu kemudian lebih merupakan "one hit wonder" yang kemudian tidak lagi menjadi fokus seperti terlihat di tahun 1995 ketika Indonesia saat itu bahkan sudah mengimpor kembali beras sebanyak 3 juta ton.

"Karena itu menurut pendapat saya, Indonesia tidak disarankan untuk mencapai swassembada beras, karena biayanya yang sangat mahal dan prosesnya yang sangat sulit," ujar Prof Davidson.

Dia menyarakan pemerintah Indonesia agar lebih meningkatkan belanja anggarannya di sektor riset dan pengembangan (R&D) serta mengubah prioritas di sektor pangan. "Selain itu, pemerintah Indonesia juga perlu meningkatkan koleksi data yang akurat terkait perberasan ini, karena jangan-jangan Indonesia sebenarnya sudah berswasembada beras. Tidak ada data yang pasti," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement