REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menjadikan rekaman penyadapan atas mantan ketua DPR, Setya Novanto oleh Maroef Sjamsoeddin menjadi ilegal. Sehingga rekaman itu tidak bisa dijadikan sebagai barang bukti di persidangan.
Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan uji materi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang diajukan Ketua Umum Partai Golkar itu. Uji materi UU ITE menyangkut Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 44 huruf b. Kedua pasal itu mengatur ketentuan informasi dan atau dokumen elektronik berikut hasil cetaknya sebagai alat bukti hukum yang sah dan ketentuannya yang bisa dijadikan alat bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan penegak hukum.
Adapun UU Tipikor, pemohon mengajukan uji materi Pasal 26A yang mengatur ketentuan alat bukti yang sah sebagaimana dimaksud Pasal 188 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. “Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” kata Ketua Majelis Hakim Konstitusi Arief Hidayat saat membaca amar putusan Mahkamah di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Rabu (7/6).
MK menyatakan, informasi elektronik sebagaimana diatur UU ITE dan UU Tipikor tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, selama frasa informasi elektronik dan atau dokumen elektronik dan atau hasil cetaknya sebagaimana diartikan sebagai alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia. Hakim Konstitusi lainnya, Manahan MP Sitompul, menerangkan tidak semua pihak dapat melakukan penyadapan. Hal itu, kata dia menerangkan, ada kekurangan peraturan yang ada di Indonesia mengenai penyadapan.
“Untuk melengkapi hal itu, dalam pertimbangan Mahkamah yang termasuk di dalamnya tidak semua orang bisa melakukan penyadapan, maka pemberlakuan bersyarat dalam UU ITE beralasan hukum,” ucap dia.
MK menegaskan dalam pemberlakuan penyadapan, harus sesuai dengan peraturan yang berlaku yaitu atas permintaan penegak hukum sebagaimana diatur dalam UU ITE. Dengan kata lain rekaman ‘Papa Minta Saham’ yang dijadikan senjata Kejaksaan Agung gugur dengan sendiri. Sebab, rekaman itu dinilai tidak memenuhi unsur dan direkam tidak atas permintaan penegak hukum
Putusan MK tersebut disertai dengan dissenting opinion (pendapat yang berbeda) dua dari sembilan majelis hakim konstitusi. Mereka adalah hakim konstitusi I Dewa Gede Palguna dan hakim konstitusi Suhartoyo. Salah satu majelis hakim konstitusi, Palguna, menyatakan pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum dalam mengajukan uji materi UU ITE dan UU KPK sebab pemohon merupakan anggota DPR RI.