REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) telah menerima 213 usulan pembentukan daerah otonom baru hingga September tahun ini. Permohonan tersebut datang dari masyarakat yang menghendaki pemekaran kawasan untuk membangun sebuah pemerintahan daerah baru.
"Dari usulan tersebut, saya melihat, fenomena saat ini adalah orang-orang di daerah lebih suka jadi kepala dari pada jadi buntut saja," kata Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo.
Namun, Tjahjo mengatakan usulan-usulan tersebut belum tentu dikabulkan. Sebab Mendagri menilai pemekaran daerah tidak seluruhnya berdampak positif bagi masyarakat. Bahkan ada daerah yang malah mengalami kemandegan pembangunan karena pemekaran daerah.
Menurutnya pemekaran daerah ditujukan untuk mengakselerasi proses pembangunan masyarakat. Jika pembentukkan daerah otonom baru malah menimbulkan kemunduran, artinya tujuan menyejahterakan rakyat gagal untuk dicapai.
"Ada daerah yang sudah mengalami pemekaran sejak empat tahun lalu, tapi sampai sekarang belum bisa menentukan ibu kota kabupaten," ujarnya.
Ia menilai hal tersebut menandakan adanya hambatan pembangunan di daerah yang bersangkutan. Padahal di sisi lain Indonesia tengah menghadapi lima ancaman besar. Pertama, radikalisme dan terorisme. Kedua, narkoba atau penyalahgunaan bahan-bahan berbahaya.
Tjahjo mengemukakan, saat ini setiap RT di Republik Indonesia pasti memiliki sedikitnya dua warga yang melakukan penyalahgunaan bahan-bahan berbahaya. Mulai dari memakai sabu hingga menghirup lem.
Ketiga, ancaman korupsi di seluruh instansi pemerintahan maupun swasta. Keempat, ketimpangan sosial di berbagai lapisan masyarakat. Kelima, ancaman berupa penghianatan terhadap bangsa dari pihak-pihak internal negara.
Ia mengatakan, pemerintah daerah wajib mengatasi lima masalah tersebut secara tuntas. Jika kondisi daerah sendiri tidak stabil, maka penyelesaian terhadap ancaman-ancaman yang terjadi pada bangsa ini akan sulit dilakukan.