REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) mendirikan Lembaga Pusat Pengembangan Pertanian dan Peternakan sebagai lembaga yang memberdayakan sekaligus memproteksi peternak dan petani.
"Lembaga ini salah satu program penyaluran zakat Baznas yang dibuat secara terencana untuk mengentaskan 280 ribu masyarakat miskin di tahun 2016," kata Manager Pengembangan Ekonomi Baznas, Rulli Kurniawan di Jakarta, Kamis Kemarin.
Lembaga pengembangan untuk pertanian dan peternakan, kata dia, akan merangkul sumber daya utama yaitu petani dan atau peternak dhuafa, pemilik lahan, modal dan akses pasar.
Dia mengatakan misi utama lembaga itu adalah memberdayakan dan melindungi petani dan peternak. Melalui proteksi, lembaga berupaya membantu petani dan peternak menghadapi permasalahannya terutama sarana prasarana, kepastian usaha, risiko harga, kegagalan panen, praktik ekonomi biaya tinggi dan antisipasi perubahan iklim.
Lembaga tersebut, kata dia, memprogramkan peningkatan kemampuan petani dan peternak dalam usaha mereka melalui pendidikan dan pelatihan, penyuluhan dan pendampingan serta pengembangam sistem dan sarana pemasaran hasil tani/ternak.
Selain itu, kata Rulli, Baznas lewat LP3 akan memberi kemudahan akses informasi, ilmu dan teknologi, penguatan kelembagaan tani/ternak. Pada tataran teknis, pemberdayaan pertanian dan peternakan ini dilakukan dengan pendekatan sistem peternakan terpadu (integrated farming system) yang mengarah pada produk berkelanjutan yang mandiri.
Pendirian lembaga, kata dia, dilatarbelakangi kondisi petani dan peternak saat ini yang sebagian besar masih miskin.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2013 rata-rata kepemilikan lahan adalah 0,3 hektare per keluarga petani. Hal itu jauh lebih sempit dari rata-rata kepemillikan lahan petani di Thailand yang mencapai tiga hektare tiap keluarga atau Malaysia seluas empat hektare.
Dengan luas kepemilikan lahan sesempit itu, kata dia, keluarga petani di Indonesia tidak bisa berbuat banyak untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Dengan luasan lahan itu, hingga akhir 2014, pendapatan rumah tangga petani atau RTP sebesar Rp12,41 juta per tahun atau Rp1,03 juta per bulan.
Konsekuensi dari hal itu, lanjut dia, jumlah keluarga petani yang tercatat pada 2003 sebanyak 31 juta keluarga dan pada 2014 turun menjadi sekitar 26 juta keluarga. Mereka makin banyak beralih profesi terutama menjadi buruh di kota besar yang lebih tidak jelas masa depannya.
Para petani ini, kata dia, tidak sanggup terus menerus hidup di bawah garis kemiskinan tapi di saat yang sama mereka tidak tahu bagaimana harus bertindak.
Di sisi lain, sektor pertanian, apalagi dalam skala kecil sangat sulit mendapatkan akses kredit ke bank. Hal itu membuat kesulitan tiap masa tanam, mereka tidak mempunyai modal untuk mengolah lahan, membeli bibit, pupuk dan obat-obatan.
APBN 2016, kata dia, terlihat minimnya anggaran untuk pertanian sehingga menambah daftar masalah dalam penguatan sektor pertanian.
"Sektor peternakan juga tak jauh berbeda. Tiap peternak hanya memiliki dua sampai tiga sapi dengan berbagai keterbatasan seperti akses lemah, pengetahuan teknologi lemah dan masih menggunakan cara tradisional," kata dia.