REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan Setya Novanto terkait Undang-Undang ITE dan Undang-Undang Tipikor, membuat proses hukum kasus dugaan pemufakatan jahat harus dihentikan.
Ahli hukum pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta, Choirul Huda mengatakan Kejagung sudah tidak bisa lagi melanjutkan kasus dugaan pemufakatan jahat.
Namun, Jaksa Agung M Prasetyo tidak perlu mempublikasikan penghentian kasus yang menyeret nama mantan Ketua DPR Setya Novanto, karena dikhawatirkan bisa merusak citra lembaga itu, mengingat sejak awal Kejagung terkesan ngotot mendorong kasus tersebut.
"Gak perlu, dengan ini sudah selesai, sudah clear. Cukup internal mereka saja. Nanti malah buat Jaksa Agung tambah malu," ujarnya dalam keterangan tertulis, Jumat (9/9).
Seperti diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan bahwa pemberlakuan penyadapan harus dilakukan atas permintaan penegak hukum sebagaimana diatur dalam UU ITE. Putusan ini menjadi bumerang bagi Kejaksaan Agung yang mengusut kasus 'papa minta saham' dengan menggunakan rekaman dari Presiden Direktur PT Freeport Indonesia (FI).
Selain itu, MK juga menyatakan bahwa Pasal dalam UU Tindak Pidana Korupsi tentang Pemufakatan Jahat masih multitafsir dan bertentangan dengan UUD 1945. Putusan ini juga memperjelas bahwa keputusan Kejagung untuk menjerat Setnov dengan Pasal pemufakatan jahat keliru.
Hal ini pun sebelumnya telah ditanggapi oleh ahli hukum dari Universitas Indonesia. Hamid A Chalid. Diakuinya, dengan putusan MK Prasetyo Cs tak memiliki senjata lagi.
"Bagaimana kalau MK sudah memutuskan, mau diapain lagi? Berarti Kejaksaan sekarang gak punya bukti apa-apa, tidak bisa Kejakasaan menetapkan tersangka," jelas Hamid.