REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekjen Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), Noffendri mengatakan, produsen obat palsu memiliki motif mencari keuntungan. Sebab, saat ini jumlah produsen resmi obat-obatan di Indonesia masih cukup memadai.
"Ada sektar 210 produsen obat yang memiliki izin resmi. Selain itu, ada 20 importir bahan obat yang punya izin resmi di Indonesia. Jadi jumlah pemasok obat dan bahan obat-obatan masih mencukupi," ujar Noffendri di Jakarta, Sabtu (10/9).
Tercukupinya sumber pasokan obat tersebut dinilai memperkuat dugaan bahwa obat palsu ada karena kesempatan memperoleh keuntungan. Produsen obat palsu diduga sengaja membuat obat yang sama dengan beberapa jenis obat-obatan tertentu agar memperoleh keuntungan tinggi dengan biaya produksi lebih kecil.
Namun, pihaknya masih ingin memastikan lagi motif pembuatan obat-obatan palsu. Saat ini, pihak BPOM sedang melakukan proses uji laboratorium terhadap beberapa sampel obat hasil sitaan dari gudang obat palsu di Balaraja, Kabupaten Tangerang.
"Kami masih menunggu apakah Carnophen dan Trihexyphenydyl yang diuji benar-benar sesuai kandungannya atau tidak. Pola motif produksinya bisa ditelusuri dari situ," kata Noffendri.
Ketua Komisi IX DPR, Dede Yusuf juga menduga peredaran obat palsu karena mencari keuntungan. Hasil bisnis obat palsu dapat mencapai angka ratusan juta hingga triliun rupiah dalam satu tahun.
"Berdasarkan referensi yang pernah saya baca, hasil bisnis obat palsu mencapai 200 juta dolar dalam satu tahun. Angka ini setara dengan Rp 2 triliun rupiah. Memang bisnis ini menguntungkan dari sisi materi," ujar Dede.
Dede menyebut, peracikan obat palsu mirip dengan pembuatan vaksin palsu. Kedua produk kesehatan ini sama-sama dibuat menggunakan suatu bahan kimia yang tidak sesuai takaran.
Dia mencontohkan salah satu obat sakit kepala. Bahan dasar obat tersebut adalah parasetamol. Parasetamol merupakan bahan yang didapat secara impor. Ketika diracik menjadi obat palsu, takaran salah satu bahan dikurangi.
"Sistem seperti ini yang menyebabkan keuntungan produsen semakin tinggi. Faktor pendorong lain adalah bahan dasar obat yang mayoritas impor. Industri obat di Indonesia kini 90 persennya masih ditopang bahan-bahan impor" kata Dede.