REPUBLIKA.CO.ID, MAKASSAR -- Raja Gowa ke-37 Andi Maddusila Andi Idjo, yang bergelar I Maddusila Daeng Mannyonri Karaeng Katangka Sultan Aluddin II, mengatakan, peraturan daerah tentang Lembaga Adat Daerah (LAD) di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan tidak sah.
"Berdasarkan hasil konsultasi dengan Kementerian Dalam Negeri, perda tersebut dianggap melanggar Undang-Undang Dasar yang mengatur kesultanan dan kerajaan. Jadi dari segi hukum pemerintahan itu tidak sah," sebut Maddusila dalam keterangan pers kepada wartawan di Makassar, Sulawesi Selatan.
Menurutnya, pemberlakukan Perda LAD tersebut memang sejak awal dipersoalkan sejumlah pihak yang tidak mengingkan perda itu diberlakukan. Mengingat ada dewan adat yang mengatur tentang kerajaan meski dalam penguasaan pemerintah setempat.
Raja Gowa yang telah dikukuhkan Sekretaris Jenderal Forum Keraton Se-Nusantara Gunarso G Kusumodiningrat ini menegaskan Perda LAD tersebut diduga upaya baru untuk meruntuhkan kesakralan satu kerajaan agar bisa dikendalikan pemeritah daerah Kabupaten Gowa. "Kami masih punya legitimasi tentang pengaturan pemerintahan kerajaaan dalam bentuk dokumen serta surat-surat resmi dari Dewan Adat Nasional. Tentunya, pemberlakukan Perda LAD ini mengatur ruang gerak dan posisi Kerajaan Gowa yang punya aturan sendiri dan tidak perlu diatur kembali pemerintah," ungkap mantan Camat Kebayoran Jakata Selatan ini.
(Baca Juga: Adnan: Tak Ada Lagi Raja di Gowa)
Berdasarkan regulasi Perda LAD Kabupaten Gowa yang kemudian belakangan diubah menjadi Perda Penataan Lembaga dan Budaya Daerah, dalam beberapa pasal salah satunya yang sudah direvisi pada Bab III Pasal 3 menyebutkan bahwa Bupati Gowa Adnan Puritcha Ichsan Yasin Limpo adalah Ketua Lembaga Adat (LAD) yang berperan menjalankan fungsinya sebagai Somba atau pemimpin.
Sementara berdasarkan aturan kerajaan, penetapan Somba tidak sembarangan dan harus dari keturunan bangsawan. Dan jelas silsilah kerajaan serta dari mana asal kerajaaannya dan darah keturunannya diketahui asal usulnya.
Sedangkan perubahan perda tersebut sebelum direvisi disebutkan Bupati Gowa adalah raja kemudian buru-buru diubah karena dinilai menyakiti keturunan raja asli. Pada perda itu tidak lagi disebut Bupati Gowa sebagai Raja Gowa, tetapi berfungsi sebagai Sombayya ri Gowa.
Selain itu Maddusila juga menyesalkan adanya upaya pemerintah setempat menggunakan berbagai cara untuk mendapatkan harta dan barang-barang kerajaan. Sebab, berdasarkan informasi yang diperoleh terjadi pembukaan brankas kerajaan di Museum Istana Balla Lompoa (Rumah Besar) di Jalan Kiyai Hasyim Wahid, Kecamatan Sungguminasa, Gowa.
Brankas kerajaan dibuka paksa dilakukan secara ilegal dengan membuat surat berita acara pembongkaran brankas pada Rabu (7/9) sekira pukul 23.33 WITA. Berita acara itu dihadiri inspektorat, Satpol PP Gowa, perwakilan Kodim 1409. Sedangkan dari Polres Gowa yang juga hadir tidak bertanda tangan.
Pemda setempat berdalih beredar informasi bahwa mahkota kerajaan yang merupakan harta peninggalan dan kelengkapan kerajaan raib. Untuk memastikannya maka harus dibongkar. Meski diketahui pemilik kunci brankas adalah Andi Maknum Bau Tayang merupakan sepupu Maddusila Raja Gowa, masih menyimpannya.
"Mereka mencoba membuka paksa brangkas itu berisikan 'Salokoa' (mahkota) dengan berbagai cara, tapi tidak berhasil. Padahal kalau mau dibuktikan masih ada atau tidak Salokka dan barang kerajaan lainnya kenapa tidak memanggil kami. Kunci masih ada pada kami, mengapa harus dibongkar paksa, ada apa sebenarnya ini," ujarnya menyesalkan.
Sebelumnya, pertarungan politik Bupati Gowa Adnan Purichta dengan Raja Gowa Andi Maddusila memang sejak dulu memanas. Mulai dari ayah Adnan, Ichsan Yasin Limpo pada 2005 awalnya maju Calon Bupati kemudian memimpin Gowa dua priode dan kini digantikan anaknya.