Petisi 50, LB Moerdani, dan Tragedi Pembunuhan Muslim Priok 1984
Oleh: Lukman Hakiem, Mantan Anggota DPR/Staff M Natsir
Kemarin, 32 tahun yang lalu, darah tumpah di Tanjung Priok. Sejumlah rakyat tidak berdosa tewas, sebagian luka-luka ringan dan berat.
Secara sepihak, Panglima ABRI Jenderal L.B. Moerdani mengumumkan jumlah korban tewas hanya 9 orang, suatu angka yang diragukan oleh banyak pihak.
Salah satu yang meragukan keterangan Panglima ABRI itu ialah Kelompok Petisi 50, sebuah kelompok oposisi terhadap rezim Orde Baru Soeharto yang terdiri atas para purnawirawan perwira tinggi tentara, purnawirawan perwira tinggi polisi, politisi sipil, dan aktivis mahasiswa.
Sehubungan dengan Tragedi Tanjung Priok 12 September 1984 itu, Kelompok Kerja Petisi 50 dan beberapa warga negara lain non-Petisi 50 mengeluarkan "Lembaran Putih Peristiwa 12 September 1984 di Tanjung Priok."
Lembaran Putih tersebut berpendapat, insiden Tanjung Priok sesungguhnya sekadar "penyulut" (trigger) yang meledakkan ketegangan yang sudah lama membara di bawah permukaan stabilitas semu.
Sebab-sebab keresahan itu, menurut Lembaran Putih, dapat dikembalikan kepada satu sumber, yaitu penyimpangan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan negara dari isi dan jiwa UUD 1945 yang memuncak pada satu paket lima Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang "penataan" kehidupan politik, terutama gagasan asas tunggal Pancasila.
Lebih lanjut, Lembaran Putih mencatat: "Secara lebih umum dapat dikatakan bahwa terjadi penyimpangan penguasa dalam pengamalan ketentuan-ketentuan Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam pada itu, rakyat tidak berdaya mengubah keadaan melalui cara yang demokratis. Dengan demikian, musibah 12 September 1984 di Tanjung Priok bukan kejadian yang berdiri sendiri, ia adalah akibat dari sistem yang berlaku."