REPUBLIKA.CO.ID, BOSTON -- Penelitian terbaru Harvard Business School menunjukkan, rakyat Amerika Serikat (AS) menyalahkan kisruh politik di Washington sebagai penyebab menurunnya aspek kompetitif ekonomi nasional.
Seperti dilansir Reuters, Rabu (14/9), riset ini menemukan beberapa faktor menurunnya ekonomi Negeri Paman Sam. Hal itu di antaranya, yakni melebarnya kesenjangan pendapatan, menurunnya produktivitas, dan melonjaknya angka penduduk usia kerja namun tak terserap industri. Pemerintah pusat dinilai kurang responsif mengatasi segenap problem itu.
Sejak 2000, produk domestik bruto (GDP) AS hanya tumbuh rata-rata sekitar dua persen. Padahal, dalam jangka waktu lima dasawarsa sebelumnya GDP AS rata-rata tumbuh tiga hingga empat persen.
Penelitian ini menyasar alumni kampus tersebut sebagai responden. Mereka menyatakan, sistem politik AS ikut memperburuk kondisi ekonomi kini.
Keluhan itu merata di semua lini partai. Dari Republik, ada 82 persen simpatisan yang berkeluh. Dari kubu independen, ada 74 persen simpatisan. Kemudian, dari partai berkuasa, Demokrat, ada 56 persen yang mengaku tak puas.
"Hanya segelintir simpatisan dari tiap partai yang merasa bahwa partainya mendukung pertumbuhan ekonomi," kata profesor Harvard Business School, Jan Rivkin, yang juga salah satu penulis laporan penelitian ini, kepada Reuters, Rabu (14/9).
Survei ini diklaim tak berkaitan dengan geliat pemilu antara kubu Hillary Clinton dan Donald Trump. Namun, kata dia, sejumlah responden mengaku khawatir, tak ada satupun calon presiden yang mampu mengatasi kelambatan ekonomi.
"Siapapun (calon presiden AS) terpilih nantinya akan menghadapi tekanan," ujar Rivkin.
Sekitar 49 persen simpatisan Republik, 38 persen dari kubu independen, dan 26 persen simpatisan Demokrat tercatat menyetujui hal sama yakni, dinamika politik AS belakangan ini memperburuk pertumbuhan ekonomi.
Penelitian ini melakukan jajak pendapat dari 4.807 alumni Harvard Business School. Prosesnya berlangsung sejak 3 Mei hingga 6 Juni 2016. Kemudian, survei juga dilakukan terhadap 1.048 responden dari publik umum, pada 10-26 Juni.