REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti zakat UIN Syarif Hidayatullah Amelia Fauzia menilai pengumpulan zakat lewat lembaga filantropi yang mengatasnamakan perusahaan bisa efektif dengan adanya kewajiban potong gaji bagi pegawai Muslim.
Namun ia mengingatkan bahwa harus ada ketentuan yang mengatur soal karyawan golongan apa saja yang wajib kena pemotongan gaji untuk pengumpulan zakat. Selain itu, ketentuan soal besaran pemotongan gaji juga perlu diperhitungan apakah cukup dengan 2,5 persen atau lebih besar.
(Baca: Ini Keuntungan Perusahaan Miliki Lembaga Pengelolaan Zakat)
"Kecenderungan lembaga-lembaga dari perusahaan yang kumpulkan zakat itu memang bisa besar karena ada unsur seperti diwajibkan semacam dipotong langsung gajinya untuk zakat, itu akhirnya pengumpulannya besar. Itu ada plus minusnya, tapi saya kira ada mekanismenya soal siapa yang patutnya dipotong," katanya kepada republika.co.id, Kamis (15/9).
Ia memandang pengumpulan zakat lewat lembaga di perusahaan tempat karyawan bekerja sebagai tren positif. Sebab, hal itu akan memudahkan karyawan berzakat sekaligus memantau aliran zakatnya dialirkan kemana saja.
"Saya lihat tren bagus karena memang dari pegawainya itu sendiri ingin berzakat. Jadi kalau mereka ingin ada divisi yang kelola ya itu tentu lebih bagus, jadi ada ghiroh kedermawanan," ujarnya.
Namun, ia mengingatkan terbitnya kewajiban pemotongan gaji untuk zakat yang biasanya berupa Surat Keputusan (DK) direksi bisa menimbulkan kontroversi. Solusinya, ia berharap lembaga pengelola zakat perusahaan bisa memberi sekaligus kepertahankan kepercayaan karyawan agar ikhlas menyisihkan sebagian gajinya.
"(kewajiban pemotongan gaji untuk zakat) itu sangat efektif bagi lembaga pengelola zakat perusahaan. Tapi bisa kontroversial karena tentu ada yang suka dan tidak, tapi karena besarannya kecil dan bisa mengemban amanahnya Insyaallah kontroversi itu bisa hilang," jelasnya.