REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Para petani di Pulau Jawa menyatakan puas terhadap kinerja, program, dan kebijakan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK). Kepuasan para petani tersebut menopang tingkat kepuasan publik terhadap pemerintahan Jokowi-JK yang terus mengalami kenaikan.
Menurut hasil jejak pendapat Center Strategic and International Studies (CSIS), kepuasaan publik pada tahun kedua pemerintahan Jokowi-JK meningkat tajam menjadi 66,5 persen. Pada tahun pertama, tingkat kepuasaan publik terhadap pemerintah berada di angka 50,6 persen.
“Tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja Jokowi meningkat karena berbagai faktor. Salah satunya terkait dengan kesuksesan beberapa programnya,” ujar Ketua Departemen Politik dan Hubungan International CSIS, Vidhyandika Perkasa, di Auditorium CSIS, Jalan Tanah Abang III, Jakarta Pusat, Selasa (13/9).
CSIS melakukan jejak pendapat bertajuk “Seberapa optimiskah publik terhadap kinerja, program, dan kebijakan Jokowi-JK pada tahun kedua?”. Jejak pendapat dilakukan pada 8-15 Agustus 2016 terhadap 1.000 responden yang sudah memiliki hak pilih dengan cara acak (random sampling) di 34 provinsi dengan margin error sebesar 3,1 persen dang tingkat kepercayaan 95 persen.
Menurut Vidhyandika, CSIS menemukan kepuasan publik yang meningkat dari tahun lalu. Rata-rata, masyarakat yang bekerja sebagai petani, berjenis kelamin laki-laki, tinggal di pedesaan, dan berada di kawasan pulau Jawa lebih optimistis dan bahagia.
Peneliti CSIS Arya Fernandes mengatakan, tingkat kepuasan publik yang terdiri dari petani, buruh, dan nelayan memperoleh suara 72,9 persen dari 21,9 persen total responden yang disurvei. Sedangkan tingkat kebahagiaan yang diperoleh oleh masyarakat pedesaan yang terdiri dari mayoritas petani memperoleh angka 68 persen dibanding tingkat kebahagiaan di perkotaan.
Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementerian Pertanian Agung Hendriadi mengatakan, hasil jejak pendapat CSIS tesebut sejalan dengan keberhasilan pembagunan pertanian dan pemberdayaan petani yang dilaporkan dan dipantau sejumlah lembaga. Antara lain, kata Agung, lembaga riset internasional the Economist Intelligence Unit (EIU) yang merilis data terbaru tentang Global Food Security Index (GFSI) pada 9 Juni 2016. Berdasarkan data EIU, skor Ketahanan Pangan Indonesia meningkat dari 46,8 pada 2012 menjadi 50,6 pada tahun ini.
“Menurut EIU, untuk pertama kalinya skor ketahanan pangan Indonesia menembus skor 50,6,” kata Agung.
Agung melanjutkan, EIU yang selama ini turut memantau pembangunan pertanian Indonesia juga menyatakan, secara overall, peringkat Indonesia pada GFSI naik dari posisi 74 ke posisi 71 dari 113 negara yang disurvei. Skor indeks GFSI secara keseluruhan tersebut ditentukan tiga aspek, yakni keterjangkauan (affordability), ketersediaan (availability), serta kualitas dan keamanan (quality and safety). Masing-masing aspek memiliki indicator tersendiri sebagai alat untuk menilai keberhasilan suatu negara dalam menjalankan program keamanan pangannya.
Pada 2016, Agung melanjutkan, terlihat bahwa aspek keterjangkauan dan ketersediaan untuk Indonesia meningkat drastis sehingga menjadi aspek yang dominan mempengaruhi kenaikan nilai indeks secara keseluruhan. “Untuk aspek kualitas dan keamanan hampir tidak mengalami perubahan,” ujar Agung.
Agung menyatakan, kepuasaan petani pria di desa yang dilansir CSIS juga berkorelasi dengan peningkatan produksi pertanian terhadap ketahanan pangan. Berdasarkan survei Institute for Development of Economics and Finance (Indef) terhadap 1.200 petani di 254 desa, 63 kecamatan, 22 kabupaten, dan sembilan provinsi pada Maret 2016, sebanyak 75,83 persen petani menyatakan puas terhadap bantuan alat dan mesin pertanian. Selain itu, 79,99 persen petani menyatakan puas terhadap penyediaan subsidi, 76,80 persen petani puas terhadap kebijakan/program Kementerian Pertanian, dan 71,99 persen responden puas terhadap pembangunan infrastruktur pertanian.
Indikator lain yang mengamini hasil survey CSIS, kata Agung, adalah data statistik yang disampaikan Badan Pusat Statistik (BPS). Menurut BPS, pada kuartal II 2016, sektor pertanian mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,18 persen. Angka itu di atas prediksi semula yang berada di angka 4,9 persen.
BPS melalui Angka Ramalan Tetap (Atap) juga melansir Nilai Tukar Petani (NTP) pada Juni 2016 yang meningkat menjadi 101,47 dibandingkan NTP Juni 2015 yang berada di angka 100,52. “Ini artinya petani memiliki tabungan lebih banyak dan semua data serta fakta tersebut menampik pihak-pihak yang mengatakan bahwa nasib petani kian suram,” kata Agung.