REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Darmadiyanti tak canggung berbicara di depan Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon, Kamis (15/9). Di ruangan rapat pimpinan lembaga legislatif yang serba mewah, ia tak ciut mental.
Suaranya lantang dan nadanya tegas. Bicaranya lancar, mengalir sesuai yang ia alami dan rasakan. Gaya bahasanya seperti yang diucapkan sehari-hari. Tak istilah yang sulit dimengerti, sebagaimana rapat anggota dewan.
Perempuan 40 tahun ini sesekali menggosok-gosok tangannya. Balutan setelan hitam yang lusuh tak cukup menangkal dinginnya ruangan. Ia tempelkan ke wajah polosnya yang terbakar matahari, khas penduduk pesisir.
Sesekali ia masukkan tangannya ke dalam jilbab biru yang dikenakan. Perempuan warga Kampung Akuarium, Jakarta Utara, korban penggusuran ini pun mengungkapkan keluh kesahnya ke Fadli.
“Saya 40 tahun lahir di situ. Kami bayar PBB, kami bayar listrik ke PLN. Tapi kami diperlakukan tak manusiawi hari itu,” keluhnya sambil terisak, tak kuat membendung air matanya.
Sejenak ia menghentikan bicaranya. Ruangan berlantai terlapis karpet tebal dan berdinding marmer itu sejenak hening.
Puluhan wartawan dan belasan korban penggusuran di DKI Jakarta di dalam ruangan mendadak diam . Semua orang di dalam ruangan tertuju pada satu pusat perhatian. Rekaman para awak media terus berputar.
“Saya tidak tahu harus bicara ke siapa lagi Pak Fadli, tolong kami,” katanya dengan isak tangis yang belum reda.
Baca juga, Warga Rawajati Tolak Dipindahkan, Ini Tanggapan Ahok.
Darmadiyanti menceritakan peristiwa saat hari penggusuran yang ia sebut ‘neraka’ itu. Rumahnya rata dengan tanah pada 11 April 2016. Ia menceritakan, 24 Maret warga Kampung Akuarium didatangi camat, polsek dan beberapa aparat. Tiga hari kemudian, surat peringatan pertama dilayangkan kepada warga. Sepekan selanjutnya, surat peringatan kedua terbit. Warga tak pernah ditanya maunya apa.