REPUBLIKA.CO.ID, MANILA - Presiden Filipina Rodrigo Duterte kembali terseret dalam kasus pembunuhan di luar proses peradilan (extrajudicial). Ia dituduh berada di balik aksi pembunuhan di Kota Davao, sebelum ia menduduki jabatan sebagai presiden.
Setelah adanya kesaksian dari mantan militan Filipina Edgar Matobato yang mengejutkan Senat Filipina, sejumlah pihak meminta perintah penyelidikan segera dilakukan. Penyelidikan atas kasus Duterte itu perlu dilaksanakan untuk mengonfirmasi atau menyangkal tuduhan Matobato.
Dalam sebuah pernyataan, Direktur Human Rights Watch Asia Brad Adams menilai kesaksian Matobato sangatlah serius. Menurutnya, harus ada penyelidikan independen mengenai masalah ini jika Presiden Duterte ingin namanya tidak tercoreng.
"Presiden Duterte tidak bisa menyelidiki kasusnya sendiri sehingga kita perlu bantuan PBB untuk melakukannya. Jika tidak, warga Filipina tidak pernah tahu presidennya akan bertanggung jawab dalam kasus pembunuhan," kata dia.
Dalam kesaksiannya, Matobato mengatakan Duterte bertanggung jawab atas sejumlah pembunuhan di Kota Davao saat ia masih menjabat sebagai wali kota. Ia menuduh Duterte telah memerintahkan bawahannya menyewa senjata.
Kelompok Davao Death Squad (DDS) di bawah komando Duterte kemudian membunuh beberapa anak buah saingannya, mantan ketua DPR Prospero Nograles. Selain itu Duterte memerintahkan serangan bom ke sebuah masjid dan membunuh Muslim, serta menyandera Senator Leila de Lima dan membunuhnya.
Tuduhan Matobato dianggap palsu oleh anak dari Nograles, Karo Alexie. Menurut Karlo, Matobato bisa saja disewa untuk berbohong.
Namun pernyataan Matobato tetap memicu kekhawatiran bagi masyarakat Internasional. Wakil Juru Bicara Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Mark Toner mengatakan AS memandang masalah ini sebagai masalah yang serius. "Ini adalah tuduhan serius dan kami menganggapnya serius. Kami akan mempelajarinya lebih dalam," kata dia, dilansir dari Asian Correspondent.
Duterte sejauh ini belum memberikan komentar terkait tuduhan yang dilayangkan kepadanya. Sejak menjabat sebagai presiden ia telah membuat keputusan kontrovesial untuk memerangi narkoba dengan membunuh lebih dari 2.000 pengedar.