REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Surakarta atau lebih dikenal dengan sebutan Solo memiliki peran yang sangat penting dalam perkembangan Islam di Tanah Jawa. Di sini, Kasunanan Surakarta berdiri selama beratus-ratus tahun dan ikut andil dalam penyebaran agama Islam.
Kasunanan Surakata merupakan pecahan dari kerajaan Mataram Islam akibat perjanjian Giyanti yang ditandatangani pada 1755. Perjanjian ini membagi wilayah Mataram menjadi dua, yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.
Hingga kini, Kraton Kasunanan Surakarta masih memegang teguh tradisi yang terkait dengan agama Islam. Tidak hanya itu, sejumlah tempat-tempat bersejarah yang terkait dengan penyebaran Islam juga masih terjaga, antara lain, masjid.
Di Surakarta terdapat sejumlah masjid tua yang menjadi saksi penyebaran agama Islam di kota budaya ini. Hingga kini, masjid-masjid tersebut masih terawat dan digunakan untuk kegiatan ibadah sehari-hari. Selain bernilai sejarah tinggi, masjid tua di Solo juga punya nilai penting dalam dakwah.
Beberapa masjid tua yang menjadi saksi sejarah jejak perjalanan dan penyebaran Islam di Surakarta tersebut, antara lain, Masjid Agung Kraton, Masjid Laweyan, dan Masjid Al Wustho Mangkunegaran.
Masjid Agung Kraton Surakarta
Masjid ini dibangun pada masa Sunan Pakubuwono III pada 1763 dan selesai pada 1768. Masjid Agung berdiri di atas lahan seluas 19.180 meter persegi dan dikelilingi tembok setinggi tiga meter lebih.
Pegawai masjid merupakan abdi dalem keraton dengan gelar tertentu, antara lain, Kanjeng Raden Tumenggung Penghulu Tafsiranom (penghulu) dan Lurah Muadzin. Sejumlah kegiatan keraton yang terkait dengan perayaan keagamaan digelar secara rutin di Masjid Agung, antara lain, Sekatenan yang digelar dalam rangka memperingati maulud Nabi Muhammad SAW.
Hingga saat ini, bangunan masjid dipertahankan seperti aslinya. Bangunan seluruh pilar atau lainnya berasal kayu jati yang dari hutan Donoloyo (Alas Donoloyo) yang usianya sudah sangat tua. Yang menarik lagi, konon kubah (mustoko) masjid ini dahulu dilapisi dengan emas murni seberat 7,5 kilogram yang terdiri atas uang ringgit emas sebanyak 192 buah. Pemasangan lapisan kubah masjid diprakarsai oleh Sri Susuhunan Pakubuwono VII pada 1878 atau tahun Jawa 1786 dengan condro sangkolo, “Rasa Ngesti Muji ing Allah".
Saat ini, Masjid Agung digunakan untuk kegiatan keagamaan, seperti pengajian, shalat Jumat, maupun shalat lima waktu.
Masjid Al Wustho Mangkunegaran
Masjid ini usianya sudah ratusan tahun. Pendirian Masjid Mangkunegaran diprakarsai oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunagara I di Kadipaten Mangkunagaran sebagai masjid Lambang Panotogomo.
Masjid yang menempati lahan seluas 4.200 meter persegi ini dikelola oleh para abdi dalem Pura Mangkunegaran. Masjid ini pernah direnovasi secara besar-besaran oleh Mangkunegara VII yang meminta seorang arsitek dari Perancis untuk ikut mendesainnya.
Masjid Al Wustho terdiri atas beberapa bagian, antara lain, serambi yang merupakan ruangan depan masjid, maligin yang digunakan untuk melaksanakan khitanan bagi putra kerabat Mangkunegaran, ruang shalat utama, pawasteren yang merupakan bangunan tambahan untuk shalat kaum perempuan. Selain itu, terdapat menara yang digunakan untuk mengumandangkan adzan. Menara ini dibangun pada masa Mangkunegara VII. Pemberian nama Al Wustho dilakukan pada 1949 oleh penghulu Pura Mangkunegaran.
Masjid Laweyan
Masjid ini umurnya sekitar lima ratus tahun lebih dan dibangun pada masa Jaka Tingkir atau Sultan Hadiwijaya memerintah kerajaan Pajang pada 1546. Masjid ini terletak di Dusun Pajang RT 4 RW 4, Laweyan, Solo. Bangunan utamanya tidak terlalu luas, yaitu sekitar 162 meter persegi. Tapi, Masjid Laweyan memiliki sejarah yang sangat panjang dan berkontribusi besar dalam penyebaran agama Islam di wilayah Karesidenan Surakarta.
Selain sebagai tempat ibadah, masjid ini juga digunakan untuk tempat nikah, musyawarah, dan juga makam. Sejumlah tokoh dimakamkan di sekitar masjid, antara lain, Kyai Ageng Henis, Pakubuwono II, permaisuri Pakubuwono V, Pangerang Widjil I Kadilangu, Nyai Ageng Pati, dan Nyai Ageng Pandanaran.
Masjid Laweyan memiliki tata ruang tipologi masjid Jawa pada umumnya. Ruang dibagi menjadi tiga, yaitu ruang induk (Utama) dan serambi yang dibagi menjadi serambi kanan dan kiri. Serambi kanan digunakan khusus untuk kaum perempuan atau keputren dan serambil kiri merupakan perluasan untuk tempat shalat jamaah.
Ciri arsitektur Jawa tercermin pada bentuk atap masjid dalam arsitektur Jawa. Atap Masjid Laweyan terdiri atas dua bagian yang bersusun. Dinding masjid terbuat dari susunan batu bata dan semen. Penggunaan batu bata ini baru digunakan sekitar tahun 1800. Sebelum dibangun seperti sekarang, bangunan masjid sebagian besar merupakan kayu.