Senin 19 Sep 2016 16:14 WIB

Lanjutkan Reklamasi, Luhut Panjaitan Dinilai Menghina Pengadilan

Rep: Qommarria Rostanti/ Red: Ilham
Tigor Hutapea (tengah)
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Tigor Hutapea (tengah)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengacara publik dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Tigor Hutapea menyatakan, pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan, untuk melanjutkan reklamasi Pulau G dinilai suatu penghinaan atas pengadilan yang menginjak-injak martabat penegakan hukum di Indonesia. Luhut dianggap melanggar prinsip negara hukum, di mana setiap pejabat negara harusnya patuh dan tunduk kepada hukum dan konstitusi, termasuk keputusan pengadilan.

Prinsip negara hukum diakui sebagai hukum tertinggi Indonesia yang ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: Negara Indonesia adalah negara hukum.

Tigor mengatakan, sebelumnya komite gabungan yang ditunjuk oleh Rizal Ramli merekomendasikan untuk menghentikan secara penuh reklamasi di Teluk Jakarta. "Hasil kajian yang sebelumnya dilakukan oleh Komite Gabungan harusnya dibuka terlebih dahulu kepada publik agar masyarakat bisa menilai kesalahan dan manipulasi yang dilakukan oleh pemerintah dan pengusaha dalam memuluskan reklamasi," ujarnya, Senin (19/9).

Tigor menyebutkan, berdasarkan hasil kajian tersebut, kesalahan pemerintah terdahulu seharusnya dikoreksi dengan mencabut Perpres Nomor 54 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kawasan Jabodetabekpunjur yang menjadi dasar melakukan reklamasi. Menurut dia, perbuatan menghina pengadilan yang dilakukan Luhut patut diperhatikan dengan cermat oleh Presiden Jokowi.

"Pernyataan Menteri Luhut sebagai tindakan penghinaan pengadilan merupakan sebuah pelanggaran terhadap syarat untuk dapat diangkatnya seseorang menjadi menteri," ujarnya.

Tigor menegaskan, ada syarat penting yang telah dilanggar oleh Menteri Luhut, yaitu Pasal 22 ayat (2) UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Yaitu, persyaratan menteri adalah setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, cita-cita Proklamasi Kemerdekaan, dan memiliki integritas dan kepribadian yang baik. Untuk itu, Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta meminta Jokowi mempertimbangkan kembali keberadaan Luhut.

Tigor mengatakan, reklamasi sebagai ujung pangkal bukanlah solusi atas permasalahan Ibu Kota Jakarta. Permasalahan yang dihadapi oleh Jakarta sebagai ibu kota negara haruslah diupayakan dengan melakukan partisipasi seluas-luasnya bagi masyarakat, secara khusus masyarakat yang terdampak yaitu nelayan tradisional. Jakarta sebagai kota bandar yang bercirikan kelautan dapat musnah jika tetap memaksakan reklamasi.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَلَقَدْ اَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّنْ قَبْلِكَ مِنْهُمْ مَّنْ قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُمْ مَّنْ لَّمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ ۗوَمَا كَانَ لِرَسُوْلٍ اَنْ يَّأْتِيَ بِاٰيَةٍ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ ۚفَاِذَا جَاۤءَ اَمْرُ اللّٰهِ قُضِيَ بِالْحَقِّ وَخَسِرَ هُنَالِكَ الْمُبْطِلُوْنَ ࣖ
Dan sungguh, Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau (Muhammad), di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antaranya ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu. Tidak ada seorang rasul membawa suatu mukjizat, kecuali seizin Allah. Maka apabila telah datang perintah Allah, (untuk semua perkara) diputuskan dengan adil. Dan ketika itu rugilah orang-orang yang berpegang kepada yang batil.

(QS. Gafir ayat 78)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement